Simbolik

Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer.
Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.[1]
Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.[2]
Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”.
Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya.
Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. [3]
Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu. [4]
Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons.
Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera.
Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20.
Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya.
[1] Bisa dibaca lebih jelas pada karya Stephen W. Littlejohn (1995). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publishing Company
[2] When Mead had to give up his position as a lecturer at the University of Chicago due to illness, Blumer took over and continued his work. In his 1937 article "Social Psychology", Blumer coined the term symbolic interactionism and summarised Mead’s ideas into three premises: The way people view objects depends on the meaning these things have for them. This meaning comes about as a result of a process of interaction. The meaning of an object can change over time.
[3] Blumer, 1969, Ibid.hal
ARAH KAJIAN BAHASA:
KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAN IPTEK
DAN SOSIAL-BUDAYA 1)

Oleh: Anas Yasin 2)

Abstract
As a tool of communication and reflection of culture, language is a complex system. Compared to animal communication, human communication uses language, sign, symbol, and gesture according to the contexts and values in a certain culture, while animal communication is instinctively the same within a certain species without involving interpretation in terms of cultural contexts and values. The purpose of this article is to review language property of human beings in relation to thought, culture, and communication from different angles as well as the influence of social development toward language and language use and to see the direction of language studies accordingly. As a language researcher, what should one do and what would the result of the study be used for. Discourse analysis is one area of study which is amenable to be recommended in line with the purpose of this paper.
Kata kunci: arah kajian bahasa, perkembangan IPTEK, perkembangan sosial budaya
1. Pendahuluan
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia; tidak terdapat pada makhluk hidup lainnya, seperti binatang. Alat komunikasi pada binatang bersifat instinktif, sehingga proses komunikasi pada setiap jenis binatang semuanya sama. Seekor simpanse menyatakan rasa senang dengan memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan. Lebah melakukan putaran sambil terbang beberapa kali untuk mengomunikasikan bahwa pada jarak tertentu terdapat madu. Komunikasi binatang dilakukan dengan bunyi-bunyi dan isyarat tubuh yang sama pada setiap jenis binatang. Berbeda dengan binatang, manusia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, isyarat, dan tanda. Kedua alat komuniaksi terakhir digunakan oleh binatang tetapi bahasa tidak. Bahasa sebagai alat komunikasi hanya digunakan oleh manusia (
Clark
, 1981). Sejalan dengan pemilikan bahasa oleh manusia, pikiran dari satu pihak dan budaya dari pihak lain juga milik manusia dan tidak terdapat pada binatang.
Makalah ini bertujuan untuk meninjau sepintas kepemilikan bahasa oleh manusia dalam hubungannnya dengan pikiran, budaya dan komunikasi ditinjau dari berbagai sudut, serta pengaruh perkembangan sosial terhadap bahasa dan penggunaan bahasa. Di samping itu, sebagai pengkaji bahasa, apa yang seharusnya kita lakukan dan untuk apa kita gunakan hasil kajian bahasa.

2. Bahasa Akuisisi dan Bahasa Pembelajaran
Pembicaraan tentang bahasa yang diakuisisi selalu berkisar tentang pemerolehan bahasa oleh anak-anak sampai umur empat tahun dengan sentral pembicaraan pada bentuk-bentuk bahasa yang dikuasai anak sampai pada tingkat umur tertentu. Anak-anak kelihatannya tidak menggandrungi bahasa tertentu dalam mengakuisisi bahasa. Mereka menyerap bahasa dengan mudah tanpa ada kesuliatan. Menurut para ahli psikolinguis, sampai dengan umur empat tahun, mereka sudah menguasai kosa kata, gramatika, makna semantis/paragmatis, dan wacana yang berhubungan dengan pengalaman mereka sehari-hari (Miller, 1979). Mudahnya mereka menguasai bahasa, tidak tergantung kepada lingkungan masyarakat bahasa yang mana mereka dibesarkan– seperti anak
Indonesia
yang dibesarkan di Jerman akan berbahasa Jerman, yang dibesarkan di Swedia akan berbahasa Swedia, dan seterusnya. Namun bahasa yang dikuasai oleh anak yang berumur sampai dengan empat tahun adalah bahasa sehari-hari yang bertahapan sesuai dengan tingkat umur. Tahapan pertama adalah bahasa ego yang berfungsi untuk mengungkapkan keinginan diri tanpa memperhatikan keinginan dan komunikasi dua arah. Pada tingkat umur tertentu, barulah anak secara sederhana dapat menanggapi keinginan orang lain dalam berkomunikasi secara pragmatis (Miller 1979). Konstruksi-konstruksi bahasa yang jarang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari; yang banyak dipakai dalam bahasa tulis dan konstruksi-konstruksi bahasa yang sangat rumit belum mereka kuasai (Slobin, 1985; 1992). Bentuk-bentuk bahasa formal, seperti bahasa pendidikan, bahasa pidato, bahasa diskusi, bahasa
surat
, bahasa buku, dan sejenisnya masih di luar jangkauan penguasaan anak. Pada saat anak-anak sudah masuk sekolah, akuisisi bahasa mereka semakin luas dan semakin memahami fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sesuai dengan perkembangan sosial-budaya. Bahasa akademis dan bahasa tulis mereka peroleh pada saat mereka berada di dalam masa pendidikan formal. Semakin maju suatu bangsa, semakin rumit bentuk komunikasi yang terjadi sesuai dengan kerumitan perkembangan budaya yang berkembang dalam masyarakat bahasa di mana seseorang dibesarkan dan semakin berkembang penguasaan bahasanya.
Pernyataan Slobin yang terakhir di atas adalah kunci perbedaan pandangan penguasaan bahasa oleh para psikolinguis dengan para ahli sosiolinguistik, pragmatik dan analisis wacana. Penguasaan bahasa oleh anak dengan konstruksi gramatika yang lengkap sudah dianggap sebagai penguasaan bahasa secara sempurna. Sebaliknya, penulis berpendapat sama dengan para ahli yang mengatakan bahwa akuisisi dan pembelajaran bahasa manusia tidak pernah ada akhirnya sampai akhir hayat seseorang. Dengan kata lain, selama penguasaan bahasa tidak hanya dipandang sebagai penguasaan bentuk-bentuk gramatika, tetapi dipandang dari hubungan perkembangan sosial-budaya yang mereka serap dan hayati dari kehidupan mereka, maka akuisisi dan pembelajaran bahasa oleh manusia berlangsung terus.
Dari dasar berpikir tentang hakikat pemilikan bahasa pada manusia, pertanyaan yang dikemukakan dalam makalah ini adalah ke mana kajian bahasa seharusnya dan sebaiknya diarahkan agar berdaya-guna terhadap pengembangan sumber daya manusia.

3. Bahasa, Konteks, dan Perluasan Pengertian Konteks
Berbagai pendapat ahli tentang definisi bahasa, tergantung pada filsafat kebahasaan yang dianut. Kaum mentalisme berpendapat bahwa bahasa adalah satuan-satuan proposisi yang dituangkan dalam kalimat (Menyuk, 1971). Kaum interaksionisme kognitif mengatakan bahwa bahasa bukan hanya pengetahuan penutur bahasa tentang proposisi, tetapi lebih luas dari itu—hubungan logis antar proposisi (Piaget, 1981). Tetapi aliran ketiga, kaum interaksionisme sosial berpendapat bahwa bahasa lebih luas lagi dari itu. Bahasa tidak saja dipandang dari konten proposisi, hubungan logis antar proposisi, tetapi juga melibatkan interpretasi sebagai hasil komunikasi antara pembicara dan pendengar. Interpretasi dapat dilakukan apabila konteks dipahami baik oleh pembicara maupun pendengar (Vygotsky, 1973).
Dengan pijakan ilmu kebahasaan yang sudah ada, para ahli semakin lama semakin menyadari bahwa sebenarnya konteks tidak terikat pada waktu, tempat, situasi, topik, partisipan, dan saluran percakapan, tetapi lebih meluas lagi dengan konteks-konteks yang jauh di luar pembicara dan pendengar yang terlibat dalam suatu komuniaksi antarpersona. Mereka telah mulai menjelajahi bahasa secara lebih khusus dan mendalam ke dalam kehidupan manusia yang menggunakannya. Manusia menggunakan bahasa bersama dengan perkembangan sosial budaya; manusia menggunakan bahasa dalam politik, ekonomi, agama, pendidikan, sains dan teknologi. Maka konteks bahasa tidak lagi hanya konteks pembicara-pendengar pada tempat, waktu, situasi, dan saluran tertentu, tetapi telah meluas ke dalam segala segi kehidupan manusia.
Karena itu Grundy (1998) menegaskan bahwa:
… Truth or enlightenment is contingent on an infinite process of scientific enquiry within a community of interpreters vis-a-vis phenomena of the real world, rather than being a transcendental state of mind arrived at by one particular individual (or group of individuals) at some particular period of time. …
Kebenaran interpretasi dalam suatu komunitas bahasa datang dari dunia nyata, bukan merupakan hasil pendapat manusia secara individu atau kelompok individu tentang bahasa pada periode waktu tertentu. Dengan rasional yang demikian, Grundy menarik implikasi bahwa:
1. we have no power of introspection, but at the same time all knowledge of our internal world is derived by hypothetical reasoning from our knowledge of external facts.

Apa yang ada di kedalaman pikiran manusia bersumber dari kenyataan-kenyataan yang terdapat di luar pikiran manusia itu sendiri melalui penalaran. Bahwa manusia mempunyai genetika kebahasaan tidak disangkal, tetapi genetika bahasa tidak bermakna apabila "knowledge of external facts" tidak ada. Karena itu, terkait dengan apa yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan, akuisisi dan pembelajaran bahasa tidak pernah berhenti sampai seseorang meninggal dunia.

2. we have no power of intuition, but yet every cognition is determined logically by previous cognitions

Seperti yang dinyatakan oleh Chomsky (1965), manusia mempunyai intuisi terhadap bahasa asli atau bahasa ibunya. Tetapi mungkinkah intuisi itu ada apabila kognisi sebelumnya tidak pernah ada? Dari mana kita tahu bahwa sebuah kalimat salah, jika kalimat itu sendiri tidak pernah ada sebelumnya? Dan keberadaan sebuah kalimat dalam bahasa tertentu di dalam otak seseorang tidak dibawa dari lahir, tetapi masuk ke dalam otak manusia sebagai input, bukan sebagai "property" otak manusia. Ini tidak saja terjadi pada akuisisi bahasa tetapi juga pada kognisi yang lain. Dapatkah manusia menggunakan intuisinya bahwa suatu norma dalam budayanya salah atau benar bila tidak didahului oleh keberadaan budaya tersebut sebelum dia lahir?

3. we have no power of thinking without signs.


Tanda-tanda atau simbul-simbul, termasuk bahasa, adalah alat berpikir manusia. Simbul-simbul tersebut sudah ada di luar diri seseorang sebelum dia lahir. Tanpa simbul-simbul tersebut manusia tidak dapat berpikir. Simbul-simbul tersebut dapat dipahami bukan oleh proses penyerapan pikiran secara individual, tetapi merupakan interaksi antara setiap individu dengan alam dan dengan individu lainnya baik perorangan maupun di dalam kelompok.

4. we have no conception of the absolutely incognizable

Tidak satupun konsepsi yang tidak dikenal oleh manusia. Artinya adalah bahwa melalui interaksi manusia dengan manusia lain dan dengan alam, sebuah konsepsi tetap dikenal oleh manusia di mana konsepsi itu lahir.
Keberadaan diri manusia, seperti yang kita ketahui, terbentuk melalui tanda-tanda yang merupakan bagian dari proses pengenalan tanda yang ada di dalam alam dan proses pengenalan tanda yang ada di dalam suatu komunitas. Kesadaran diri manusia saling terkait dengan mata rantai semiotik dan terbuka bagi struktur rasional yang terdapat di dalam alam ini. Kenyataan-kenyataan sebagai tanda-tanda eksternal yang diketahui atau yang dapat diketahui masuk dan menempati ranah pikiran manusia dan melalui perbandingan-perbandingan membentuk makna. Karena itu, berbeda dengan Chomsky (1958), Marvin Minsky (1988) mengemukakan bahwa pikiran adalah bawaan. Tetapi pikiran tidak dapat berbuat apa-apa tanpa tanda-tanda. Secara spesifik, dia mengatakan bahwa:

Meanings come about through interaction between readers and receivers and linguistic features come about as a result of social processes, which are never arbitrary. In most interactions, users of language bring with them different dispositions toward language, which are closely related to social positionings.

Peran interaksi sosial dalam pembentukan makna dalam kebahasaan sangat penting. Baik dalam akuisisi bahasa anak maupun pembentukan pemahaman orang dewasa secara individual terhadap sesuatu, pembentukan sebuah konsep atau pemahaman suatu proses kultural tidak lepas dari peran sosial-budaya.
Kembali kepada konteks dan perluasan pengertian konteks, dapat disimpulkan bahwa konteks tidak saja terbatas pada konteks-konteks langsung (immediate contexts) yang mencakup topik, latar, partisipan, saluran bahasa, dan fungsi bahasa (Freedle, 1979), tetapi juga melingkup semua tanda-tanda (signs) yang terdapat di dalam alam sesuai dengan komponen budaya di mana tanda-tanda tersebut itu ada (Halliday, 1986). Proses akuisisi dan pembelajaran bahasa oleh anak-anak dan orang dewasa selalu didampingi oleh tanda-tanda yang tersimpan di dalam komponen-komponen sosial budaya yang sekarang kita simpulkan sebagai perluasan konteks bahasa.

4. Arah Kajian Bahasa dalam Perkembangan IPTEK dan Sosial-Budaya
Orang di luar bidang bahasa selalu bertanya-tanya: "Untuk apa ilmu linguistik itu?" Sebagai ilmuan kebahasaan, kita mencoba menjawabnya dari sudut pandang azas manfaat. Setiap kajian kebahasaan mempunyai azas manfaat. Bila kita tinjau dari segi aliran, bidang kajian, dan komponen dari masing-masing bidang kajian bahasa, sebenarnya kita dapat menelusuri satu persatu manfaatnya. Tetapi di dalam makalah yang singkat ini, penulis tidak mungkin menjangkau semuanya. Bila kita perhatikan laporan penelitian kebahasaan baik penelitian lepas atau dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa, di dalamnya dicantumkan azas manfaat penelitian. Sebagai hasil penelitian linguistik murni, secara umum hasil penelitian dikatakan bermanfaat untuk menambah khazanah kebahasaan baik untuk linguistik
Indonesia
khususnya maupun linguistik secara umum. Pada sisi lain, baik yang bertolak dari aliran kebahasaan maupun dari bidang-bidang dan komponen masing-masing bidang, sebagai hasil penelitian kebahasaan terapan, hasil penelitian bermanfaat untuk diterapkan untuk berbagai kepentingan, seperti pendidikan dan pengajaraan, pengembangan sosial-budaya, pengembangan IPTEK, pengembangan seni dan sastra, dan sebagainya.
Noam Chomsky, misalnya, sebagai penganut mentalisme dalam kajian kebahasaan berpendirian bahwa hasil kajiannya tidak untuk dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran bahasa karena memang dia tidak mempunyai alasan untuk itu (Chomsky, 1980). Penganut mentalisme kebahasaan, seperti yang telah disinggung pada bagian terdahulu, mengkaji bagaimana makna-makna bahasa diserap oleh anak-anak melalui analisis hubungan logis antar unsur yang hanya melibatkan konteks semotaktik (konteks keterkaitan secara logis antar unsur di dalam kalimat). Karena itu manfaat hasil kajiannya diuntukkan pada pengayaan khazanah kebahasaan dalam bidang psikolinguistik. Karena psikolinguistik mempunyai kaitan dengan ilmu otak (neurologi), pertanyaan muncul: "Apakah kajiannya dapat dimanfaatkan untuk terapi bagi orang-orang yang bermasalah dalam pengucapan bahasa yang disebabkan oleh kerusakan gumpalan otak yang mengontrol bahasa (language lump)?" Jawabannya adalah "tidak" karena yang memperbaiki "kerusakan bahasa" bukanlah kajian Chomsky, tetapi kajian dan penelitian tentang otak itu sendiri. Kalau demikian, hasil kajian psikolinguistik hanya untuk kajian itu "per se". Manfaat hasil kajian suatu bidang ilmu merupakan hak "prerogatif" pengkajinya sendiri. Dengan kata lain, hasil kajian bahasa yang demikian merupakan inventarisasi kekayaan ilmu dan pengetahuan. Karena itu, salah satu klasifikasi hasil kajian bahasa adalah inventarisasi kekayaan ilmu pengetahuan. Bahasa dalam hal ini berfungsi sebagai ilmu (art).
Masuknya teknologi secara berangsur-angsur ke dalam ruangan kelas selama lebih dari 20 tahun cenderung mencerminkan perkembangan teknologi komputer yang sejalan dengan perkembangan pembelajaran dan pengajaran yang dilakukan oleh para ahli dan diangkat oleh guru untuk dilaksanakan di dalam kelas. Karena itu, pengenalan teknologi internet dalam pendidikan sejalan dengan beralihnya pendidikan dari minat terhadap teori belajar kognitif dan perkembangan ke arah teori sosial dan kerjasama (Hawisher, 1994).
Beberapa ahli mengemukakan bahwa era komunikasi hypertext dan internet yang telah mulai tumbuh pada pertengahan1990-an mengisyaratkan perlunya perluasan pandangan terhadap literasi: komputer tidak lagi dipandang sebagai pengganti guru atau alat yang "pintar" bagi pembelajar, tetapi sebagai media baru yang mengubah cara kita menulis, membaca, dan mungkin juga berpikir (Selfe, 1989). Tanpa berpegang kepada analisis radikal peran teknologi dan literasi, kita perlu melakukan penelitian tentang komputer dan pendidikan yang tidak hanya menghargai manfaat komputer secara pedagogis dan sosial tetapi juga menentukan secara tepat bagaimana bahasa, pembelajaran, dan pengajaran telah digantikan oleh penggunaan teknologi internet dan hypertext di dalam kelas. Bahasa internet merupakan bahasa wacana yang dapat dikaji dan dapat diterapkan dalam pendidikan dan pengajaran.
Tentu saja banyak hasil kajian bahasa yang berstatus seperti ini, namun kemajuan IPTEK dan sosial-budaya di segala bidang membuat kajian bahasa berkembang ke arah yang bersamaan dengan perkembangan itu. Di dalam makalah ini penekanan adalah pada kajian-kajian bahasa yang berkaitan dengan perkembangan tersebut, seperti pendidikan dan pengajaran, politik, kritik, komputerisasi, ekonomi, teknik, pariwisata, komunikasi, dan banyak lagi.
Penulis, dalam makalah ini, tidak akan menguraikan perkembangan IPTEK dan sosial-budaya secara konseptual, teoritis dan sistematis karena hal tersebut adalah di luar jangkauan penulis. Tetapi penulis akan memberikan contoh-contoh perkembangan tersebut secara acak dan mengaitkannya dengan kajian kebahasaan.

5. Analisis Wacana
Ada
dua jenis wacana, wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan berbentuk komunikasi verbal antar persona, sedangkan wacana tulis ditampilkan dalam bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks dalam hal bahwa wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila penganalisis melihat hubungan kebahasaan antar tuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila yang dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Dalam makalah ini, penekanan bahasan adalah pada wacana.
Bahwa budaya mempengaruhi "
gaya
" percakapan secara sistematis merupakan prinsip pendekatan analisis wacana yang dikenal sebagai etnografi komunikasi, yang mengkaji bagaimana kaidah-kaidah budaya menentukan struktur dasar percakapan. Bagi etnografer di bidang ini, budaya merangkul pengetahuan dan pelaksanaannya, termasuk tindak tutur. Dalam hal yang demikian, etnografi komuniaksi adalah payung teori tindak tutur. Karena itu, barangkali, pendekatan komunikasi yang mengatakan bahwa tidak hanya totalitas pengetahuan dan pelaksanaan budaya tercakup di dalam wacana tapi juga penekanan pada bahasa menjadikan kedua kajian ini lebih banyak diperhatikan pada saat ini.
Karena totalitas budaya tercakup secara dominan di dalam kajian wacana, maka semua aspek kehidupan sosial-budaya manusia dapat dianalisis melalui wacana. Makna dan modernitas merupakan usaha yang ambisius untuk membangun kembali konsep dari pragmatisme filosofis untuk teori sosial yang kontemporer. Halton (1986) mengemukakan nilai-nilai sikap pragmatis sebagai cara berpikir. Selama ini, teknik rasionalisasi melepaskan diri dari konteks yang hidup.Yang lebih menarik dewasa ini adalah arah kajian sosial budaya dan wacana bisa dilakukan dalam dua arah–melalui wacana, kita dapat mengkaji budaya dan melalui budaya kita dapat mengkaji wacana.

6. Analisis Percakapan
Berikut ini, van Dijk (1998) mengulas tentang analisis percakapan. Seperti yang telah diperlihatkan oleh peneliti etnografi komunikasi dan para ahli bahasa lainnya, pemanfaatan kegiatan yang diatur oleh kaidah secara empiris dapat diuji dan diverifikasi kebenarannya. Analisis empiris peran tingkah laku yang diatur kaidah di dalam interaksi percakapan merupakan sentral pendekatan; dasar empirisnya menupangnya dengan metode yang tangguh karena hipotesis tentang percakapan yang terjadi pada suatu interaksi dapat diverifikasi dengan mengkaji interaksi dalam percakapan yang lain. Hasilnya adalah bahwa banyak para linguis dan sosiolog memfokuskan kajian mereka pada hal-hal yang diatur kaidah di dalam percakapan dan menemukan prinsip-prinsip utama. Ini bukan berarti bahwa sudah ada pendekatan yang diatur oleh kaidah yang sistematis dalam analisis wacana.
Sebaliknya, pendekatan yang berdasarkan kaidah dalam menerangkan makna telah dikeriktik secara luas, sebagi sesuatu yang terlalu umum untuk dimanfaatkan. Disarankan oleh banyak ahli agar kajiannya dibatasi di berbagai kemungkinan. Namun penganut kaidah percakapan membalasnya dengan mengatakan bahwa kaidah bukan untuk dipakai secara ketat, namun dalam percakapan terdapat kaidah yang dapat dipedomani. Dengan melihat bahwa ada kaidah dalam struktur percakapan, kita membatasi agar kajian kita tidak menjadi sesuatu yang tidak berujung.

7. Ketidak-pastian Makna
Pada saat tertentu, makna bisa menjadi tidak terbatas, baik bagi penganalisis maupun bagi interlokutor. Ini merupakan kenyataan bahasa. Persepsi dan interpretasi setiap wacana bersifat sangat subyektif. Terdapat kemungkinan bahwa interpretasi dan reinterpretasi merupakan sesuatu yang tak berujung, hanya pembicara, pendengar, dan pengamatlah yang tahu. Interpretasi struktur simbolis ditentukan oleh makna kontekstual simbolis yang tak terbatas. Van Dijk menegaskan bahwa tak satupun pendekatan yang dapat menginterpretasi makna secara pasti. Apa yang dilakukan adalah usaha memaksimalkan interpretasi tersebut kearah kebenaraan.
Di dalam analisis wacana yang terkait dengan perkembangan sosio-kultural, ketidak-pastian makna disebabkan oleh berbagai "lingkungan wacana" yang memungkinkan keberadaan ungkapan yang harus diinterpretasi. Lingkungan itulah yang kita maksudkan dengan konteks. Makna konseptual sebuah kata, makna logis sebuah kalimat, dan makna logis antar kalimat belum dapat menjamin ketepatan makna yang dimaksudkan oleh penuturnya.
Ada
komunikasi di luar konsep dan di luar logika yang harus "dibuntuti" sehingga kita menemukan interpretasi yang kira-kira mendekati kebenaran. Konsep sebuah kalimat yang efektif tidak berkisar sebatas penggunaan kata yang tepat, kalimat yang gramatikal dan stilistika yang benar, tetapi jauh di luar itu; pengetahuan penulis tentang sosio-kutural yang kontekstual juga harus dilihat sebagai aspek yang harus menjangkau konsep tersebut.
Kajian wacana dapat pula diarahkan pada analisis antar wacana. Interaksi antar wacana diumpamakan oleh van Dijk sebagai permainan catur. Bagaimana satu individu atau suatu kelompok masyarakat memahami wacana individu/kelompok lain dan bagaimana kelompok kedua menanggapi wacana kelompok pertama, dan seterusnya. Analisis yang demikian erat sekali kaitannya dengan aksi apa yang akan terjadi sesudah itu. Sebuah berita koran yang bahasanya menggunakan konsep kata, logika kalimat, dan logika wacana yang kelihatan netral mungkin saja dapat menyinggung perasaan pembaca dalam kelompok tertentu dan kemudian segera terjadi makar.dan tentulah ini erat pula kaitannya dengan kultur yang dianut oleh masyarakat tersebut. Karena itulah kajian wacana yang terkait dengan perkembangan IPTEK dan sosial-budaya merupakan kajian yang signifikan untuk dilakukan tanpa melepaskannya dari azas manfaat. Bagaimana pemanfaatan hasil kajian tersebut untuk kepentingan mayarakat luas. Itulah pertanyaan yang paling signifikan yang harus dijawab oleh pengkaji bahasa. Contoh-contoh berikut sedikit memberikan gambaran tentang azas manfaat kajian wacana.


8. Beberapa Contoh Kajian Wacana
Bila kajian bahasa dikaitkan dengan perkembangan IPTEK dan sosio-kulutural, kajian kebahasaan akan mempunyai sumber yang tidak terbatas, terutama kajian wacana. Berikut ini beberapa contoh kajian wacana yang terkait dengan perkembangan sosial-budaya dan IPTEK.
1. Pandangan Orang Finlandia terhadap Berita Televisi CNN: Analisis Kritik Antar-Budaya tentang Gaya Wacana Komersil Orang Amerika
oleh: Brett Dellinger
Abstrak:
Terintegrasinya ekonomi Eropah dan permintaan yang meningkat terhadap keberhasilan iklan di pasar Eropah memaksa pemerintah melakukan deregulasi, restrukturisasi, dan komersialisasi monopoli penyiaran publik yang tidak komersil, sudah lama berdiri, dan secara tradisional mendominasi wacana publik. Restrukturisasi dan komersialisasi alat yang digunakan untuk menyebarkan informasi oleh publik ini diiringi oleh perubahan-perubahan struktur kebahasaan wacana publik yang biasa dipakai.
Cable News Netrwork (CNN) sebagai jaringan yang menyiarkan segala macam berita di Eropah melalui satelit dan kabel, terbukti sebagai model yang populer dan terjangkau dan dapat dikaji serta ditiru. Namun daya tarik CNN bagi penyiaran-penyiaran di Eropah bukanlah pada berita yang disiarkan selama 24 jam, tetapi pada penggunaan
gaya
wacana komersil oleh pencipta yang sudah berpengalaman dan profesional.
Kajian ini memfokuskan pada asal-usul gaya wacana komersil Amerika secara historis, politis, ekonomi, dan ideologis, dan secara kritis menganalisisnya dengan bantuan antar-budaya orang Finlandia, orang yang belum menerima gaya tersebut secara implisit sebagai "berita". Di dalam analisis wacana berita komersil ini juga termasuk kajian fenomena yang dapat menyebabkan kesalah-pahaman, yang juga dikenal sebagi "gap", dalam penyerapan makna yang disajikan oleh CNN dalam gaya komersil Amerika dan diterima oleh orang Finlandia. Perbedaan persepsi tentang pesan-pesan CNN dikaji dan dianalisis antar-budaya untuk menemukan dan mengekspos perkiraan-perkiraan tentang
gaya
wacana komersil. Aspek-aspek
gaya
wacana komersil juga dikaji, termasuk pembuatan kerangka berita dan sari berita.

2. "Critical Discourse Analysis (CDA)"
Contoh lain perkembangan kajian bahasa adalah "Critical Discourse Analysis" (CDA) yang dipopulerkan oleh van Dijk (1978) melalui websites http://www.hum.uva.nl/~teun/cda.htm. CDA sudah membuat kajian bahasa menjadi alat interdisipliner dan digunakan oleh para ahli dengan bermacam-macam latar belakang, termasuk kritik media. Yang paling signifikan lagi adalah bahwa CDA menawarkan kesempatan untuk mengangkat perspektif sosial di dalam studi teks media antar budaya, seperti kajian wacana politik, yang berbeda dengan analisis teks secara linguistik, pragmatik, dan sosiolinguistik. Sementara kebanyakan bentuk analisis wacana bertujuan untuk memahami aspek sosio-kultural wacana, CDA bertujuan untuk menjelaskan perwujudan, struktur internal, dan susunan teks secara keseluruahan. Salah satu perbedaan utama adalah bahwa CDA bertujuan untuk mengeriktik deskripsi dan teori wacana.
Ada
tiga pertanyaan dasar kajian CDA:
a. Bagaimana kelompok yang (lebih) kuat mengontrol wacana publik?
b. Bagaimana wacana yang demikian mengontrol pikiran dan tindakan kelompok yang (lebih lemah) dan apa dampak sosial pengontrolan yang demikian, seperti kesenjangan sosial?
c. Bagaimana kelompok yang didominasi secara tidak langsung menantang kekuatan tersebut.
3. Contoh Pemanfaatan Komputer dalam Kebahasaan
• Sistem Pembelajaran Bahasa melalui Komputer (CALL)
• Pemeriksa tata bahasa dan stilistika dan membantu penulis menulis tek yang jelas.
• Untuk menghindarkan salah komunikasi informasi antar batas bahasa.
• Alat penganalisis deskripsi teks dan mencari gambar yang cocok dengan deskripsi tersebut.
• Sistem yang membuat kita dapat menghasilkan berbagai jenis teks untuk tujuan yang berbeda dari sumber informasi yang sama, misalnya, pemasaran, pemeliharaan, pelatihan, pengelolaan.

9. Kesimpulan
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditetukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dati konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam kajian bahasa seharusnya para ahli bahasa mengarahkannya pada keterkaitan keduanya. Sosiokultural kehidupan manusia selalu berkembang, termasuk IPTEK. Karena itu dewasa ini arahan penelitian kebahasaan sudah banyak yang menuju ke
sana
, sehingga hasil kajian bahasa dapat dimanfaatkan untuk kehidupan umat manusia. Secara khusus, kajian pragmatik, seperti kajian wacana, sangat diminati oleh para peneliti yang menginginkan bahasa tidak terpisah dari komunikasi dan sosial-budaya.
Karena bahasa tidak terlepas dari komunikasi dan sosial-budaya, maka kajian bahasa akan selalu mengikuti perubahan-perubahan yang ada di dalam sosial-budaya. Bila sebelumnya, penelitian wacana hanya meneliti proses interpretasi di dalam wacana itu sendiri, dewasa ini para peneliti sudah keluar mencari kaitan wacana dengan sosiokultural. Kajian wacana bahkan sudah mulai mengarah kepada kajian interdisipliner, seperti kajian bahasa untuk berbagai bidang yang manfaatnya kemudian dipetik oleh pendidikan dan pengajaran bahasa. Kajian bahasa dewasa ini sudah mulai menjangkau kajian di luar kajian kalimat yang lepas konteks.

ISLAM DAN SENI DI INDONESIA
(Abdul Hadi W. M., 2004, 0 halaman)
Persoalan hubungan Islam dengan seni, sebenarnya bukan hanya persoalan sikap kebanyakan ulama dan fuqaha� (ahli hukum Islam) yang kaku dan risih terhadap kegiatan seni. Persoalan yang tak kalah penting justru menyangkut hal-hal mendasar. Pertama, menyusutnya ingatan kolektif umat Islam terhadap khazanah budaya Islam, khususnya seninya, yang kaya dan pernah berkem_ang selama beberapa abad bukan saja di belahan negeri Arab dan Persia, tetapi juga di kepulauan Nusantara; Kedua, merosotnya pemahaman konseptual tentang seni di kalangan luas pemeluk agama Islam, serta ketidakpedulian mereka terhadap arti dan peranan penting seni dalam kehidupan. Khususnya sebagai sarana pendidikan dan pemekaran imaginasi, yang niscaya bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan dan peningkatan kreativitas umat. Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang masyhur Kimiya-i Saadah, malah mengatakah bahwa apabila diberdayakan dengan tepat dan sungguh-sungguh, seni dapat menyemarakkan kehidupan keagamaan. Yang tak kalah penting lagi, namun belum benar-benar disadari ialah bahwa seni juga bisa dijadikan sumber pemberdayaan ekonomi umat, khususnya seni rupa, desain, kerajinan, arsitektur dan musik. Penyebab utama dari dua hal yang telah disebutkan dapat dicari dalam faktor pengajaran dan pendidikan. Di samping itu, kecilnya minat dan pengetahuan masyarakat terhadap seni juga disebabkan kurangnya kegiatan apresiasi yang dilakukan oleh lembagalembaga dan organisasi-organisasi sosial keagamaan. Dalam kaitannya dengan pengajaran dan pendidikan, sampai saat ini kita tidak melihat adanya lembaga pendidikan tinggi Islam yang bersedia membuka jurusan seni rupa dan desain. Sekalipun beberapa universitas Islam memiliki jurusan adab dan sastra, namun mata kuliah seperti kesusastraan Islam, sejarah kebudayaan dan kesenian Islam, jarang sekali diajarkan secara sungguh-sungguh dan cukup mendalam Para sarjana kita juga jarang yang berminat untuk khazanah intelektual dan sastra Islam Nusantara. Padahal khazanah tersebut sangat melimpah, khususnya yang ditulis dalam bahasa Melayu, Jawa dan Sunda. Apabila teks-teks klasik itu dikaji secara mendalam, niscaya akan diperoler perspektif yang luas tentang perkembangan Islam di Indonesia. Kita juga akan mengenal sumber-sumber nilai dari kebudayaan Islam yang berkembang di Indonesia dan lebih bisa memaharni watak dan ciri perkembangannya di masa kini. Dalam sejarah penyebaran Islarr di Indonesia tidak jarang seni digunakan sebagai media penyebaran agama yang ampuh, khususnya pada masa awal berkembangnya Islam. lni tampak rnisalnya dalam aktivitas para wali di pulau Jawa dan Sumatra pada abad ke-16 dan 17 M. Wali-wali seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Drajat dan Sunan Kalijaga berperan besar dalam mengembangkan seni dan kebudayaan Jawa yang bernafaskan Islam. Mereka mampu mentransformasikan bentuk-bentuk seni warisan Hindu menjadi bentuk-bentuk seni baru bermuatan Islam. Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati sebagai contoh adalah juga perintis penulisan puisi suluk atau tasawuf, yang pengaruhnya besar bagi perkembangan sastra. Tidak sedikit sarjana Barat dan Timur yang memaparkan bukti-bukti betapa para sastrawan memainkan peranan penting bagi kebudayaan Islam di kepulauan Melayu Nusantara. Bahkan tidak sedikit di antara ulama-ulama Nusantara dan ahli-ahli tasawufnya sesungguhnya juga budayawan-budayawan dan sastrawan-sastrawan terkemuka. Syed Muhammad Naguib al-Attas (1970) rnisalnya membuktikan bahwa bahasa Melayu, yang merupakan asal-usul bahasa nasional Indonesia dan Malaysia sekarang, dapat terangkat naik menjadi bahasa intelektual dan kebudayaan tinggi dan bertaraf internasional, berkat kerja keras para sufi seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel. Sebelum mengalarni proses pengislaman, bahasa Melayu hanya dipakai lingua franca atau sebagai bahasa perdagangan. Tetapi di tangan sastrawansastrawanrn sufi Melayu abad ke-15 dan 16 M, bahasa Melayu naik peranannya sebagai bahasa intelektual dan keagamaan paling menonjol di Asia. Berkat penggunaan bahasa Melayu yang luas. dengan teks-teks ilmu agama dan sastranya, Islam deng:an cepatnya berkembang di kepulauan Nusantara. Peranan para pedagang dan muballigh tentu saja tidak dapat diabaikan pula. Sedangkan Braginsky (1993) yakin bahwa kesusastraan Melayu memainkan peranan penting karena telah meletakkan fundasi yang mantap bagi kebudayaan Islam di Indonesia dan Malaysia. Hendaknya diingat bahwa karya-karya mereka yang bernilai sastra tidak hanya mengungkapkan pemikiran tentang kesenian dan estetika, tetapi juga berkaitan dengan ilmu fiqih, syariah, hadis, tafsir al-Qur�an, usuluddin dan tasawuf, yang dipaparkan melalui ungkapan sastra atau puisi. Memang sejak dulu telah muncul perdebatan sengit tentang peranan dan kedudukan seni di kalangan sesama ulama. Dapat disebut di sini yang paling menonjol ialah perdebatan antara Nuruddin al-Raniri, yang mewakili para fuqaha, dengan muridmurid Syamsudin Pasai dan Hamzah Fansuri pada awal abad ke-17 M di Aceh. Perdebatan tersebut menyangkut masalah pemahaman konseptual tentang seni dan metode penafsiran ungkapan estetik simbolik seni. Yang satu menggunakan argumentasi ilmu fiqih, yang cenderung menafsirkan ungkapan dalam seni secara formal dan harfiah. Sedang yang lain menggunakan argumentasi tasawuf, yang dalam menafsirkan karya seni atau sastra berangkat dari penafsiran hermenneutik (ta�wil). Nuruddin al-Raniri berpendapat misalnya bahwa seorang Muslim tidak sepatutnya membaca cerita-cerita zaman Hindu seperti Ramayana dan Hikayat Pandawa Lima, yang pada masa itu masih disalin oleh penulis-penulis Muslim dan digemari oleh orang-orang Melayu Islam. Pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani berpendapat bahwa tidak ada salahnya orang Islam membaca karya-karya zaman Hindu, karena karya-karya tersebut telah disadur dan diberi nafas Islam, walaupun tidak secara keseluruhan. Nuruddin al-Raniri dan para fuqaha yang lain memandang pantun dan syair digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang rendah dan mudharat. Tetapi lawannya membuktikan bahwa para sufi seperti Hamzah Fansuri dapat menggunakan pantun dan syair sebagai bentuk pengucapan nilai-nilai kerohanian yang tinggi. Bahwa seni memainkan peranan penting dalam penyebaran agama dan pengukuh kebudayaan bernafas religius; Islam Hamid dalam bukunya Asas-asas Kesusasteraan Islam (Kuala Lumpur 1985) menyebut kesaksian seorang ahli sejarah Muslim abad ke-15 M, yaitu Syekh Zainuddin al-Ma'bari. Dalam Tuhfat al-Mujahidin, sebuah buku yang memuat laporannya tentang penyebaran agama Islam di India dan Asia Tenggara, dia mengatakan bahwa berhasilnya dakwah Islam di wilayah ini banyak dibantu oleh pembacaan kisah Nabi Muhammad s.a.w. yang dinyanyikan dengan indah. Sampai sekarang pembacaan riwayat Nabi dengan cara dinyanyikan, seperti pada pembacaan Kasidah Burdah, Syaraful Anam, Syair Rampai Maulid dan lain-lain, tetap dilakukan oleh masyarakat Muslim tradisional. Di Jawa, para wali seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, dalam dakwahnya sering menggunakan gamelan. Berkat kreativitas para wali inilah gamelan Jawa, Sunda dan Madura berbeda estetikanya dari gamelan Bali yang meneruskan estetika Hindu. Gamelan Jawa dan Degung Sunda cenderung kontemplatif, karena dalam estetika Islam yang diutamakan ialah penciptaan suasana khusyuk dan tafakur dalam merenungi Yang Satu. Bukti lain ialah kesaksian seorang musafir Portugis bernama Tome Pires yang mengunjungi pulau Jawa pada awal abad ke-16 ketika para wali sedang aktif mengislamkan pulau Jawa. Dalam bukunya Suma Oriental Tome Pires mengatakan bahwa di antara para wali itu sangat aktif mengajarkan seni kerajinan kepada murid-muridnya dan masyarakat di sekitar tempatnya berdakwah. Ukiran Jepara dan Madura yang sampai sekarang ini sangat terkenal dan berpusat masing-masing di kota Jepara dan desa Karduluk, Sumenep, merupakan contoh yang tepat tentang kesinambungan kegiatan seni kerajinan yang dirintis para wali sufi di Jawa pada abad ke-16 M. Kedua tempat ini, Jepara dan Sumenep, sejak lama merupakan pusat penyebaran agama slam yang penting di pulau Jawa. Ukiran-ukiran Pesisir ini didominasi ragam hias tetumbuhan (arabesque) dan pola geometri, Yang merupakan kecenderungan umum seni Islam. Batik Pesisir juga dipenuhi ragam hias tetumbuhan, beserta pewarnaannya yang kaya dan simbolik. Pola semacam itu ada hubungannya dengan seni hias yang berkembang di Persia dan Mughal India. . Bukan pula suatu kebetulan apabila bentuk bangunan Masjid Demak seperti yang kita lihat sekarang ini berbeda dari bangunan masjid lain yang ada di Timur Tengah dan Iran, serta mendekati bangunan lokal. Woodward dalam bukunya Islam Jawa yang baru-baru ini terbit (1999) membandingkan bentuk bangunan masjid-masjid tradisional Jawa yang mengambil modelnya dari bentuk bangunan Masjid Demak dengan masjid-masjid lama di Kerala, Malabar, India Selatan. Menurut kajian dan penelitian Woodward masyarakat Muslim tradisional Jawa dan faham keagamaannya memang mempunyai hubungan dengan masyarakat Muslim Kerala. Pada mulanya mereka merupakan sekumpulan orang Islam yang datang dari Yaman Selatan. Pada abad ke- 13 M mereka berbondong-bondong pindah ke India dan Nusantara disebabkan kekacauan di wilayah kekhalifahan Badghad yang dihancurkan oleh tentara Mongol. Mereka menganut mazhab Syafi�i dan mempunyai kecenderungan tasawuf yang kuat. Baik di Kerala maupun di Jawa, komunitas Muslim yang jumlahnya besar di kota-kota pesisir ini menguasai perdagangan palawija dan barang komoditi lain. Mereka mengkeramatkan para wali dan menghormati kedudukan ulama atau kiyai. Mereka membuat bangunan masjid berdasarkan arsitektur lokal, yaitu meru atau pagoda Hindu yang beratap tumpang tiga sebagai simbol untuk gunung kosmik. Tumpang tujuh dirubah menjadi tumpang empat sebagai lambang tahapan perjalanan kerohanian dalam Tasawuf yaitu: Syariat, Tarekat, Hakekat dan Makrifat; atau lambang peringkat-peringkat alam dalam Kosmologi Islam, yaitu (dari bawah ke atas): Alam Nasut, Alam Malakut, Alam Jabarut dan Alam Lahut. Sedangkan alam tertinggi dari kewujudan yaitu Alam Lahut (Alam Zat Ketuhanan yang tak dikenal) tidak dilambangkan sama sekali. Namun demikian susunan bangunan yang terdiri dari ruang dalam dan ruang luar, halaman dalam dan halaman luar, serta desain interiornya, sama sekali berbeda dengan bangunan suci orang Hindu. Agaknya kita juga tidak boleh menutup mata atas kenyataan bahwa seni batik, ukiran perabot dan lain-lain, yang pusat-pusat industrinya berada di daerah pesisir Pulau Jawa seperti Cirebon, Pekalongan, Lasem, Jepara, Tuban, Madura, Probolinggo dan lain-lain, baru berkembang pesat setelah masuknya Islam. Kota-kota pesisir ini tumbuh berkat. semakin tumbuhnya komunitas Islam yang aktif dalam perdagangan dan menguasai dunia pelayaran. Munculnya Yogya dan Solo sebagai pusat seni batik yang maju hanya mungkin setelah berdirinya kerajaan Mataram. Tradisi batik dibawa ke tempat ini dari pesisir. Batik berkembang pada zaman Islam karena industri kain India baru berkembang pesat pada abad ke-16 pada zaman Dinasti Mughal memegang tampuk pemerintahan di India. Penguasaan terhadap perdagangan kain India pada waktu pula berada di tangan pedagang-pedagang Muslim yang menguasai pelayaran ke Timur. Kalau kita berpaling pada kesusastraan Melayu antara abad ke-16 dan 19, dan juga kesusastraan Nusantara lain dalam bahasa-bahasa yang pemakainya beragama Islam seperti Aceh, Mandailing, Minangkabau, Palembang, Banjar, Sunda, Jawa, Madura, Sasak, Bugis Makassar, Bima, Gorontalo dan lain-lain, akan tampak betapa aktivitas dan produktivitas penulis Muslim sangat dominan dalam wacana keilmuan, agama dan budaya. Van Ronkel (1905) ketika menyusun daftar naskah-naskah berbahasa Melayu dan Nusantara menyebutkan bahwa 95% dari naskah-naskah tentang agama, sastra, hukum, adab, dan berbagai disiplin ilmu lain yang terdapat di Museum Jakarta (sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta) berkaitan dengan Islam. Naskah-naskah ini ditulis di berbagai tempat seperti Aceh, Palembang, Minangkabau, Banjarmasin, Riau, Pontianak, Gorontalo, Makassar, Bima, Ternate, Lombok, Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan Lampung. Gambaran yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa Islam sudah lama menumbuhkan sebuah tradisi seni yang adiluhung, terutama dalam sastra, kaligrafi, seni dekoratif dan lain-lain. Melalui tarekat-tarekat Sufi yang aktif sejak abad ke-15 Islam juga mengembangkan beberapa jenis musik dan tarian, baik yang bersumber dari tradisi Islam Arab-Persia maupun yang bersumber dari tradisi Melayu-Jawa seperti gamelan dan lain-lain. Saluang Minang, yang mencerminkan pengaruh tilawah pada musik lokal; tari Seudati Aceh, yang tumbuh dari tari-tarian Sufi sebagaimana tari Pantil di Madura, Zikir Rebana dan lain-lain di lingkungan masyarakat Melayu; berbagai ragam motif seni hias yang simbolik dan indah pada batik, perahu, perabot rumah tangga dan lain-lain seperti motif bebek pulang, sidomukti, kembang setaman, burung simurgh dan lain-lain; begitu juga tembang-tembang suluk dalam bahasa Jawa, Sunda dan Madura; Hikayat Nabi-nabi (Surat al-Anbiya'), Kitab Tajus Salatin dan Thamratul Muhimmah (dua kitab tentang politik dan kenegaraan masing-masing karangan Bukhari al-Jauhari dan Raja Ali Haji), Serat Menak, Hikayat Amir Hamzah, Umar Umaya, Cerita Nabi Yusuf dan Zuleikha, Syair Siti Zubaidah Perang Dengan Cina (di Jawa disebut Menak Cina), Syair-syair Tasawuf, Syair Maulid dan lain-lain - untuk menyebut beberapa contoh yang populer sampai ini - menunjukkan maraknya kegiatan seni Islam di masa lalu dan pengaruhnya yang langgeng sampai saat ini. Begitu pula sebenarnya cukup banyak karya seni yang dihasilkan para seniman Muslim modem sejak zaman Hamka sampai kini, khususnya dalam sastra, seni rupa, musik, seni suara dan teater yang bemafaskan Islam, yang di antaranya mendapatkan pengakuan intemasional. Namun sangat disayangkan bahwa khazanah seni Islam yang sangat kaya ini sudah banyak orang Islam yang tidak mengenalnya lagi. Karena itu tidak mengherankan apabila sampai sekarang ini masih banyak yang meragukan apakah seni Islam ada dan pernah berkembang di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang meragukan adanya seni dengan label Islam (dengan beragam pengertian yang mudah dipahami sekalipun). Di antara mereka yang meragukan itu tidak sedikit ialah para sarjana, cendekiawan dan pengamat seni yang beragama Islam, namun tidak pernah mempelajari Sejarah Islam atau Sejarah Kebudayaan Islam dengan baik, terlebih-lebih yang menyangkut seni atau sastra dengan latar belakang gagasan dan pemikirannya. Bahkan kita juga dapat mengatakan bahwa dalam banyak aspek berkenaan kebudayaan Islam, pemeluk agama Islam di Indonesia telah banyak kehilangan ingatan kolektif atau kesadaran sejarah, dan sebagai akibatnya mengalami krisis jatidiri dan krisis kepercayaan diri. Konstruksi pengetahuan yang diajarkan di lembaga pendidikan formal dan informal tidak memberi peluang mereka mengenal sejarah pencapaian Islam dalam peradaban dan kebudayaan dengan baik. Saya ingin memberikan contoh yang menarik. Sebelum dan bahkan sesudah terselenggaranya Festival Istiqlal I 1991, yang dinilai sukses besar sebagai festival kebudayaan Islam Indonesia yang akbar; disusul terselenggaranya Festival Istiqlal II 1995 yang melatarbelakangi berdirinya Bayt al-Qur�an & Museum Istiqlal pada tahun 1997. Sebelum Festival Istiqlal I banyak yang meragukan bahwa festival ini akan berhasil. Keraguan itu, pertama-tama berkenaan dengan khazanah dan ragam seni Islam yang akan dipertunjukkan dan dipamerkan. Kedua, berkenaan dengan dukungan dari masyarakat Muslim. Tetapi keraguan itu terhapus setelah Festival Istiqlal I digelar. Seni Islam ternyata ada dan wujud dengan kokohnya di Indonesia, serta tetap berkembang hingga masa modern ini. Namun demikian masih saja tetap ada yang meragukan apa seni Islam itu ada dan apakah Islam telah cukup sumbangannya bagi perkembangan seni di Indonesia dan masa kini. Dalam berbagai karangannya beberapa seniman dan budayawan Muslim seperti AD. Pirous, Hasan Muarif Ambary, Taufiq Ismail, Machmud Bukhari, Ahmad Noe�man, Taufik Abdullah, Yustiono, Ibrahim Alfian dan lain-lain dengan tegas menyatakan bahwa tidak diragukan lagi seni Islam atau bernafas Islam ada di Indonesia dan telah berkembang sejak abad ke-12 dan 13 M. Dalam tulisannya �Seni Yang Bernafaskan Islam di Indonesia: Kajian Khusus Seni Rupa Masa Kini dalam Perspektif Seniman Muslim� (1997) A.D. Pirous antara lain menulis: �Masuknya Islam di Indonesia menghentikan kegiatan pembuatan candi-candi Hindu atau tempat pemujaan Buddha, dengan demikian menyusut pula kegiatan pembuatan patung atau area-area... (ini) mendorong perhatian para seniman Muslim Indonesia untuk menyalirkan seni rupanya di bidang kerajinan dan seni dekoratif yang berkembang dengan kekayaan bentuk ornamen, sangat terlihat melalui ungkapan seni batik. Seni batik ini ditandai dengan dipakainya ratusan bentuk ornamen yang berasal dari bentuk flora dan fauna di Indonesia, dengan kecenderungan penggunaan warna yang saling berbeda di beberapa daerah (Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Tasikmalaya dan Lampung)... Wayang beber, salah satu pertunjukan wayang sebagai media penyebaran agama Islam, adalah karya lukis pada kain yang bersumber pada tradisi pra-Islam. Oleh tangan para seniman Muslim terciptalah karya lukisan dengan gaya dekoratif yang mengandung tema cerita sejarah dan legenda. Tentang seni rupa modern yang bernafaskan Islam, yang melahirkan gerakan Seni Rupa Islam Kontemporer, A.D. Pirous antara lain menyatakan bahwa perkembangan seni rupa bernafaskan Islam ini telah mulai berkembang sejak tahun 1970an. Pada waktu itu juga mulai tampak kebangkitan kembali penulisan sastra bernafas Islam; di antaranya dengan munculnya karya-karya Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri dan lain-lain yang berkecenderungan sufistik, atau sajak-sajak sosial keagamaan yang dihasilkan oleh Taufiq Ismail dan penyair yang lebih kemudian seperti D. Zawawi imron, Hamid Jabbar, Emha Ainun Nadjib dan lain-lain. Dalam tulisannya itu A. D. Pirous mengatakan sesuatu yang penting kepada kita: �Ketika awal tujuh-puluhan mulai tampilnya seni rupa kontemporer Indonesia yang bernafas Islam, kita sangat terkesan oleh hasrat yang besar dari para seniman untuk mengucapkan isi pesan semata yang Islami, tanpa terlalu banyak mempersoalkan bentuk-bentuk cisual ungkapannya atau bahasa rupa yang berangkat dari rumusan estetika Islam. Hal ini bisa dimengerti oleh karena belum ada pendidikan seni rupa dengan wawasan Islam.... Kita bertanya apa dan bagaimana kiranya, karya seni yang bernafaskan Islam itu�. Walaupun setelah Festival Istiqlal 1991 dan 1995 seni Islam telah mendapat sosoknya yang semakin jelas dan semakin nyata bahwa ia berkembang, namun tampaknya masyarakat cepat lupa sehingga timbul lagi pernyataan yang kadang-kadang naif. Hal ini disebabkan sekali lagi karena kurang tersosialisasikannya hasil karya seniman Muslim. Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi sosial keagamaan, pers, perguruan tinggi Islam sudah seyogyanya mengambil langkah strategis untuk memasyarakat karya seniman Muslim ini melalui berbagai kegiatan apresiasi dan bahkan memasukkannya menjadi bagian dari mata pelajaran sejarah kebudayaan atau sejarah kesenian Islam. Kajian dan penelitian mesti dilakukan, perkembangan seni Islam dan wawasan estetiknya mesti ditulis dalam buku sehingga dapat dijadikan rujukan masyarakat terpelajar Muslim. Namun sampai saat ini saya belum pernah menyaksikan sebuah lembaga pendidikan Islam atau perguruah tinggi Islam membuka fakultas ilmu-ilmu kebudayaan dengan tekanan pada kebudayaan Islam dan sejarahnya, di mana seni Islam, filsafat Islam dan kesusastraan Islam dikaji dengan layak dan penuh penghargaan. Catatan: i) Nuruddin al-Raniri memperingatkan bahayanya seorang Muslim membaca hikayat-hikayat warisan zaman Hindu seperti Hikayat Seri Rama dan Hikayat Pandawa. Namun para pengarang Melayu berpendapat bahwa membaca hikayat-hikayat di atas tidak berbahaya, karena hikayat-hikayat tersebut bagaimanapun juga mengandung unsur pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya hikayat-hikayat warisan zaman Hindu itu disadur kembali, diberi nafas Islam. Misalnya norma-norma dan perilaku tokoh-tokohnya didekatkan dengan norma-norma Islam. Masalah lain yang menjadi bahan perdebatan ialah penggunaan syair atau puisi sebagai media ajaran agama. Para ulama melihat syair hanya digunakan untuk penulisan roman (kisah percintaan), sindiran dan olok-olok, serta untuk mengekspresikan hal-hal yang tidak pantas dilihat dari sudut pandang agama. Tetapi para sastrawan berpendapat bahwa roman-roman percintaan dan cerita pelipur lara yang lain dapat ditulis dengan menyertakan unsur-unsur dakwah dan pendidikan. Puisi juga tidak selamanya dipakai untuk mengemukakan hal-hal negatif. Puisi-puisi keagamaan dan tasawuf, syair-syair sejarah dan falsafah sangat bermanfaat bagi pembaca. Jadi tidak selamanya sastra harus dipandang dari kaca mata negatif, begitu pula halnya dengan seni secara keseluruhan. Masalah ketiga yang diperdebatkan ialah penggunaan ungkapan-ungkapan simbolik dan imaginatif dalam puisi yang sering menyesatkan pembaca. Misalnya penggunaan simbol �laut� dan �ombak� dalam syair Sufi untuk membandingkan ketakterhinggaan wujud Tuhan (laut) dan keterbatasan dan kesementaraan wujud makhluq (ombak). Para ulama menafsirkan secara harafiah, seakan-akan penyair menyamakan laut dengan Tuhan dan memuja alam. Perdebatan serupa terjadi pada tahun 1938 ketika Hamka menerbitkan roman-romannya seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka�bah. Karena di dalam roman itu terdapat kisah percintaan, para ulama kolot menuduh Hamka sebagai Kiyai Cabul. Hamka dan kawan-kawannya mempertahankan pendiriannya bahwa sastra penting sebagai media ekspresi dan meningkatkan penghayatan keagamaan. Dia berbicara atas nama kaum muda, golongan pembaharu, yang menghendaki pembaharuan. Jika kita jujur sebenarnya perbedaan pandangan tentang seni itu timbul karena metodologi, pendekatan dan cara pandang berbeda tentang seni. ii) Sebetulnya pada zaman Islam banyak seniman Muslim menciptakan motif-motif baru seni hias, Misalnya sebagaimana tampak pada motif seni batik Madura, motif burung pingai (simurgh). Perlu dikemukakan bahwa sebelum orang Islam datang ke Indonesia, mereka telah mengenal berbagai ragam hias Arabesk yang kaya melalui kain, perabot rumah tangga, bagian-bagian kapal yang dihiasi dan lain-lain. Pengkayaan motif yang bersifat lokal juga didorong oleh wawasan bahwa �Ayat-ayat Tuhan terbentang dalam alam dan diri manusia�, jadi tidak terbatas alam yang ada di negeri Arab atau Persia, dan tak terbatas diri manusia orang Arab dan Persia. Ingatlah Hamzah Fansuri berkata: Hamzah Fansuri orang �uryani Seperti Ismail jadi qurbani Bukannya �Arabi lagi Ajami Sentiasa wasil dengan Yang Baqi


Istilah ’fenomenologi’ sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang ditemui (Lexy J Moleong, 2007). Fenomenologi diartikan sebagai: 1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang (Husserl dalam Moleong, 2007). Menurut Moleong, peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti.
Hal ini berangkat dari arti asal kata fenomenologis yaitu ’fenomena’ atau gejala alamiah. Jadi para fenomenolog berusaha memahami fenomena-fenomena yang melingkupi subyek yang diamatinya. Sehingga yang ditekankan adalah aspek subyektif dari perilaku orang. Para fenomenolog berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.
Jadi yang ditekankan dalam fenomenologi adalah pemahaman terhadap pengalaman subyektif atas peristiwa dan kaitan-kaitannya yang melingkupi subyek. Contoh: penelitian mengenai fenomena komunikasi yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan penerima pesan terhadap pesan yang disampaikan. Peneliti berusaha memahami bagaimana penerima pesan merespon setiap pesan yang disampaikan. Dari hasil pengamatan, peneliti menemukan fakta bahwa penerima pesan memiliki pengalaman negatif (buruk) terhadap pesan-pesan yang (ternyata) tak dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga hal tersebut mempengaruhi pula pandangan mereka terhadap kredibilitas pemberi pesan (komunikator). Terhadap pemberi pesan yang memiliki kredibilitas rendah tersebut, setiap pesan yang disampaikan selalu direspon secara negatif (tak dipercaya). Sebaliknya, pesan-pesan yang menyertakan pembuktian langsung dan nyata, membuat penerima pesan segera merasakan kebenaran pesan tersebut sehingga kepercayaan pun dapat muncul seketika. Dari fenomena tersebut, peneliti memunculkan teori atau model Komunikasi Berasa, yakni model komunikasi dengan pembuktian langsung dan nyata sehingga setiap pesan yang disampaikan langsung dirasakan kebenarannya oleh penerima pesan.
Contoh lain penelitian fenomenologi adalah penelitian biografis tentang grup musik Slank, untuk memahami pengalaman kreatif kesenimanan mereka dan bagaimana mereka memandang peristiwa-peristiwa negatif (terlibat narkoba, seks bebas, dan lain-lain) yang menimpa mereka maupun seniman-seniman lain, serta bagaimana mereka mengatasinya.
Jika fenomenologi fokus pada pemahaman terhadap pengalaman subyektif atas suatu peristiwa, maka interaksi simbolik fokus pada penafsiran terhadap pemaknaan subyektif yang muncul dari hasil interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.
Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’ yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal menjadi perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus yang hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para interaksionis simbolik. Jadi peneliti berusaha ’memasuki’ proses pemaknaan dan pendefinisian subyek melalui metode observasi partisipan.
Hal yang tidak kalah penting dalam interaksi simbolik adalah pengonsepsian diri subyek. Bagaimana subyek melihat, memaknai dan mendefinisikan dirinya berdasarkan definisi dan makna yang diberikan orang lain.
Contoh: dalam penelitian mengenai Iklan dan Prostitusi. Subyek menggunakan ’iklan panti pijat’ sebagai media (simbol) penawaran jasa prostitutifnya. Subyek yang lain memanfaatkan ’tampil di cover majalah pria’ sebagai media lain penawaran atau komunikasi pemasaran jasa prostitutifnya. Subyek yang lain lagi ’menjual diri’ dengan tampil di situs jejaring sosial Friendster dengan foto-foto yang ’mengundang’ sebagai media komunikasi pemasaran atau iklan jasa prostitutifnya. Bagaimana subyek membentuk simbol-simbol pengiklanan diri tersebut, bagaimana pelanggan dapat menangkap makna simbol-simbol tersebut sehingga terjadi interaksi dan transaksi ’gelap’ dengan menggunakan simbol-simbol eksklusif lain, bagaimana subyek memandang dan mendefinisikan diri mereka berdasarkan pandangan orang lain, apakah mereka lebih senang disebut pelacur, pelacur kelas atas, escort, pemijat plus, model plus, atau sekadar ’teman jalan’? Adakah istilah-istilah dan bahasa-bahasa isyarat tertentu yang mereka gunakan? Bagaimana dengan keluarga dan teman-teman mereka di luar lingkungan prostitutif mereka? Apakah mereka menyembunyikan profesi mereka atau terbuka? Berapa banyak pelanggan dan penghasilan mereka dari hasil beriklan? Adakah pengaruh iklan terhadap kenaikan penghasilan mereka? Digunakan untuk apa saja penghasilan mereka? Lebih banyak untuk membantu perekonomian diri dan keluarga, atau lebih banyak untuk bersenang-senang?
Jadi, perbedaan mendasar antara fenomenologi dan interaksi simbolik muncul dari makna katanya sendiri: fenomena dan interaksi. Fenomenologi bertumpu pada pemahaman terhadap pengalaman subyektif atas gejala alamiah (fenomena) atau peristiwa dan kaitan-kaitannya, sedangkan interaksi simbolik bertumpu pada penafsiran atas pemaknaan subyektif (simbolik) yang muncul dari hasil interaksi. Pada fenomenologi, ibarat fotografer, peneliti ’merekam’ dunia (pengalaman, pemikiran, dan perasaan subyektif) si subyek dan mencoba memahami atau menyelaminya, sedangkan pada interaksi simbolik, peneliti menafsirkan makna-makna simbolik yang muncul dari hasil interaksi subyek dengan lingkungannya dengan cara memasuki dunianya dan menelusuri proses pemaknaan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post your coment!