SELAMAT DATANG!

Terima kasih atas kunjungan anda.
semua Artikel yang ada di sini merupakan artikel yang saya ambil dari artikel orang lain yang sengaja saya publikasikan sedemikian rupa sesuai dengan keinginan saya.
Semoga bermanfaat!







Wayang

Wayang
Wayang Indonesia

Wayang adalah pertunjukan drama tradisionil yang populer sekali di Indonesia. Lakon wayang biasanya berdasarkan cerita yang diambil dari epik Ramayana dan Mahabharata. Kedua epik ini asalnya dari India, tapi ceritanya sudah diubah orang Jawa dulu. Ada lakon lagi yang berdasarkan cerita Indonesia lama seperti cerita Kala Rau dan cerita Panji.

Di pulau Jawa dan Bali ada beberapa macam wayang. Yang paling terkenal adalah wayang kulit yang dimainkan dengan boneka wayang yang dibuat dari kulit. Boneka wayang yang dibuat dari kayu dipakai dalam pertunjukan wayang golek dan wayang klitik. Hanya wayang kulit yang biasanya dimainkan pada malam hari, kalau sudah gelap. Di belakang sebuah kelir, lampu dipasang. Orang yang menonton pertunjukan wayang kulit duduk di depan kelir. Mereka hanya bisa melihat bayangan boneka wayang. Satu pertunjukan wayang bisa makan waktu lama, sampai sembilan jam.

Sebuah pertunjukan wayang dimainkan oleh Ki Dalang, artinya tukang cerita. Dia selalu duduk di belakang kelir sedang memainkan wayang. Ki Dalang penting sekali karena dia yang memainkan semua boneka wayang dan menyuarakan teks mereka. Dia juga yang bernyanyi dan yang memimpin gamelan wayang.

Dalam satu set wayang ada beberapa ratus watak; ada yang baik, ada yang jahat. Yang baik selalu dimainkan di sebelah kanan dalang, dan yang jahat dimainkan di sebelah kiri dalang. Boneka wayang yang tidak dipakai dipasang di sebuah batang pohon pisang yang ada di depan Ki dalang. Di antara watak wayang yang terkenal adalah lima saudara Pandawa; nama mereka Yudisthira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Mereka tokoh cerita Mahabharata yang menceritakan perang saudara.

Alat musik yang paling penting dalam gamelan wayang adalah alat pukul yang namanya gender. Musik yang dimainkan berubah mengikuti cerita. Ki Dalang pakai pemukul kayu (cempala) dan kotak kayu besar, yang biasanya dipakai untuk menyimpan semua watak wayang, untuk memberitahu kepada pemain gamelan, musik macam apa yang harus dimainkan.
Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.

Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam) dipentaskan pula.

Wayang, oleh para pendahulu negri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam sekali. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".




DITINJAU DARI SEJARAH PERKEMBANGAN SERTA PERANANNYA DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN KEPRIBADIAN BANGSA

Oleh :
Sutini. BA

SEJARAH PERKEMBANGAN KESENIAN WAYANG

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.

Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem ceritera wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.

Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.

Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan. Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma ( 1433 / 1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.


Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di-buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbauini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.

Pada masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir / layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun disana- sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.

Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.

Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata "Gedog" berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari "Kudawanengpati"atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.

Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris.
Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.

Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma ( 1552 J / 1670 M ). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal: ( 1553 J / 1671 M ). Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang Klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari ceritera Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.
Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit.

Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah ; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang / Kediri.
Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.
Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 - 1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.

Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh.
Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari.
Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya .

PERANAN WAYANG DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN KEPRIBADIAN BANGSA.

Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat.
Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi bilamana dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilai- nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana maupun Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan. Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana penunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat local genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya.

Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara ; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis- Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan Kepribadian Bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis - konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi:

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia. dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.
Asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha misalnya, merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para Dewa. Para Dewa tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para Dewa minta bantuan bagawan Mintaraga atau bagawan Ciptaning yaitu nama Arjuna saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena bagawan Ciptaning berhasil membunuh Raksasa Nirwatakawaca diberi hadiah Dewi Supraba dan Pusaka Pasopati. Disini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Asas Kemanusiaan.

Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk kesadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat unifersil, artinya berlaku kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun Juga. Tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan.
Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas isteri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada diluar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan . Oleh karena itu Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada difihak yang salah.
Asas Persatuan

Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berfihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga.
Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
Asas Kerakyatan / Kedaulatan rakyat.

Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para ksatria Semar dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru.
Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa.
Asas Keadilan Sosial

Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur ; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.

Di ruang Pameran Tetap Museum Negeri Propinsi Jawa Timur Mpu Tantular juga menampilkan Koleksi Wayang Koleksi Wayang bisa dilihat di Ruang VII yaitu Ruang Koleksi Kesenian

Jenis Koleksi Wayang yang dipamerkan:
Wayang Gedog
Koleksi yang dipamerkan:
Raden Panji Inukertapab
Raden Panji Sinompradopo
Bancak
Doyok
Prabu Lembu Amiluhur
Aryo Joyosasono
Aryo Joyonagoro
Wayang Purwo Jawa timur
Koleksi yang dipamerkan:
Puntodewo
Arjuno
Werkudoro
Kresno
Sencaki
Suyudono
Sengkuni
Dursosono
Bolodewo
Karno
Wayang Purwo Jawa Tengah
Koleksi yang dipamerkan:
Puntodewo
Arjuno
Nakulo
Sadewo
Werkudoro
Kresno
Suyudono
Dursosono
Indrajid
Kombokarno
Wayang Kulit Bangkalan
Koleksi yanq dipamerkan:
Rama
Sinta
Lesmana
Sugriwa
Anoman
Dasamuka
Trijata
Sarpakenaka
Indrajid
Kombokarno
Wayang Klitik Purwo
Koleksi yang dipamerkan:
Narodo
Durno
Jembawan
Bolodewo
Brotoseno
Kombokarno
Wayang Klitik Damarwulan
Koleksi yang dipamerkan:
Minakjinggo
Dayun
Browijoyo
Damarwulan
Layang Seto
Layang Kumitir
Noyo Genggong
Wayang Golek Purwo
Koleksi yang dipamerkan:
Anoman
Bimo
Bodronoyo
Sumantri
Prahasto
Bolodewo
Wayang Golek Damarwulan
Koleksi yang dipamerkan:
Layang Kumitir
Patih Logender
Kencono Wungu
Damarwulan
Anjasmoro
Puyengan
Patih Tuban
Dayun
Wayang Golek Menak
Koleksi yang dipamerkan:
Dewi Rengganis
Umarmoyo
Umarmadi
Patih Abdullah Akbar
Raja Lamdaur
Menak Jayengrono

ARTIKEL LAIN

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti "bayangan".
Jika ditinjau dari arti filsafatnya "wayang" dapat diartikan sebagai bayangan atau merupakan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan, serakah dan lain-lain.
Sebagai alat untuk memperagakan suatu ceritera wayang.
Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh beberapa orang penabuh gamelan dan satu atau dua orang waranggana sebagai vokalisnya.
Di samping itu, seorang dalang kadang kadang juga mempunyai seorang pembantu khusus untuk dirinya, yang bertugas untuk mengatur wayang sebelum permainan dimulai dan mempersiapkan jenis tokoh wayang yang akan dibutuhkan oleh dalang dalam menyajikan ceritera.
Fungsi dalang di sini adalah mengatur jalannya pertunjukan secara keseluruhan.
Dialah yang memimpin semua crewnya untuk luluh dalam alur ceritera yang disajikan.
Bahkan sampai pada adegan yang kecil-kecilpun harus ada kekompakan di antara semua crew kesenian tersebut.
Dengan demikian, di samping dituntut untuk bisa menghayati masing-masing karakter dari tokoh-tokoh yang ada dalam pewayangan, seorang dalang juga harus mengerti tentang gending (lagu).
Desain lantai yang dipergunakan dalam permainan wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, seorang dalang dibatasi oleh alas yang dipakai untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang dikenal set kanan dan set kiri.
Set kanan merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan set kiri adalah tempat tokoh-tokoh angkara murka.
Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak.
Untuk memperagakan berbagai setting/dekorasi dan pergantian adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan.
Pertunjukan wayang bisa dilakukan pada siang maupun malam hari, atau sehari semalam.
Lama pertunjukan untuk satu lakon adalah sekitar 7 sampai 8 jam.
Instrumen musik yang digunakan dalam mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap adalah gamelan Jawa pelog dan slendro, tetapi bila tidak lengkap yang biasa digunakan adalah dan jenis slendro saja.
Vokalis putri dalam iringan musik yang disebut waranggono bisa satu orang atau lebih.
Di samping itu, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wirasuara, yang jumlahnya 4 sampai 6 orang dan bertugas mengiringi waranggana dengan suara "koor".
Vokalis pria ini bisa disediakan khusus atau dirangkap oleh penabuh gamelan, sehingga penabuh gamelan adalah juga penggerong.
Dalam menentukan lakon yang akan disajikan seorang dalang tidak bisa begitu saja memilih sesuai dengan kehendaknya.
Ia dibatasi oleh beberapa faktor.
Diantaranya adalah:
(1) jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan;
(2) kepercayaan masyarakat sekitarnya;
(3) keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.
Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa disajikan lewat wayang-wayang tersebut.
Seperangkat wayang kulit misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana.
Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak.
Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, ini dikarenakan tokoh tokoh yang ada dalam wayang-wayang tersebut memang sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon (ceritera-ceritera) tertentu.
Dalam suatu masyarakat, terutama masyarakat pedesaan, yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak kita jumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang.
Sebagian masyarakat misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan.
Apabila pantangan ini dilanggar, orang yakin bahwa keluarga tersebut akan mengalami kesusahan.
Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya.
Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang.
Untuk suatu upacara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan juga tertentu.
Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan adalah "Kondure Dewi Sri" (Pulangnya Dewi Sri), sedangkan untuk upacara ngruwat lakonnya adalah Batara Kala.
Selain batasan-batasan ini lakon wayang sering kali juga ditentukan oleh permintaan penanggap2 atau atas kesepakatan antara pihak dalang dan penanggap wayang.
Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia pendapat dari beberapa ahli dapat digunakan sebagai pedoman untuk memaparkan hal ini.
Salah satu pendapat yang didukung oleh data yang kuat disampaikan oleh Sri Mulyono. Mengenai timbulnya pertunjukan wayang ini Mulyono berpendapat bahwa pertunjukan wayang kulit dalam bentuknya yang asli, yaitu dengan segala sarana pentas / peralatannya yang serba sederhana, yang pada garis besarnya sama dengan yang sekarang kita lihat, yaitu dengan menggunakan wayang dari kulit diukir (ditatah), kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya, sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya orang Indonesia asli di Jawa, sedangkan timbulnya jauh sebelum kebudayaan Hindu datang.
Pertunjukan wayang kulit ini pada dasarnya merupakan upacara keagamaan atau upacara yang berhubungan dengan kepercayaan untuk menuju "Hyang", dilakukan di malam hari oleh seorang medium (syaman) atau dikerjakan sendiri oleh kepala keluarga dengan mengambil ceritera-ceritera dari leluhur atau nenek moyangnya.
Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berhubungan dengan roh nenek moyang guna memohon pertolongan dan restunya apabila keluarga itu akan memulai atau telah selesai menunaikan suatu tugas.
Upacara semacam ini diperkirakan timbul pada jaman Neohithik Indonesia atau pada ± tahun 1500 SM.
Dalam perkembangannya kemudian upacara ini dikerjakan oleh seorang yang memiliki keahlian, atau menjadikannya suatu pekerjaan tetap, yang disebut dalang.
Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap namun tetap mempertahankan fungsi intinya, yaitu sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan sistim kepercayaan dan pendidikan.
Berkenaan dengan perkembangan kesenian wayang ini sebagai ibu kota kerajaan Mataram Baru, Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habiranda pada tahun 1925 di kota ini.
Kini para dalang lulusan sekolah Habiranda banyak tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mengenai jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, ternyata ada beberapa jenis yaitu: Wayang Kulit/ Purwa; Wayang Klithik; Wayang Golek dan Wayang Orang.

Wayang kulit
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Lima bersaudara Pandawa dalam wayang kulit Jawa

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa dan di sebelah timur semenanjung Malaysia seperti di Kelantan dan Terengganu. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.

Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan berharga ( Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity ). Wayang kulit lebih populer di Jawa bagian tengah dan timur, sedangkan wayang golek lebih sering dimainkan di Jawa Barat.


Wayang Kulit, Mahakarya Seni Pertunjukan Jawa

Malam di Yogyakarta akan terasa hidup jika anda melewatkannya dengan melihat wayang kulit. Irama gamelan yang rancak berpadu dengan suara merdu para sinden takkan membiarkan anda jatuh dalam kantuk. Cerita yang dibawakan sang dalang akan membawa anda larut seolah ikut masuk menjadi salah satu tokoh dalam kisah yang dibawakan. Anda pun dengan segera akan menyadari betapa agungnya budaya Jawa di masa lalu.

Wayang kulit adalah seni pertunjukan yang telah berusia lebih dari setengah milenium. Kemunculannya memiliki cerita tersendiri, terkait dengan masuknya Islam Jawa. Salah satu anggota Wali Songo menciptakannya dengan mengadopsi Wayang Beber yang berkembang pada masa kejayaan Hindu-Budha. Adopsi itu dilakukan karena wayang terlanjur lekat dengan orang Jawa sehingga menjadi media yang tepat untuk dakwah menyebarkan Islam, sementara agama Islam melarang bentuk seni rupa. Alhasil, diciptakan wayang kulit dimana orang hanya bisa melihat bayangan.

Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak, selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang kulit yang merupakan orang-orangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara, berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang menyanyikan lagu-lagu Jawa.

Tokoh-tokoh dalam wayang keseluruhannya berjumlah ratusan. Orang-orangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.

Setiap pagelaran wayang menghadirkan kisah atau lakon yang berbeda. Ragam lakon terbagi menjadi 4 kategori yaitu lakon pakem, lakon carangan, lakon gubahan dan lakon karangan. Lakon pakem memiliki cerita yang seluruhnya bersumber pada perpustakaan wayang sedangkan pada lakon carangan hanya garis besarnya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang. Lakon gubahan tidak bersumber pada cerita pewayangan tetapi memakai tempat-tempat yang sesuai pada perpustakaan wayang, sedangkan lakon karangan sepenuhnya bersifat lepas.

Cerita wayang bersumber pada beberapa kitab tua misalnya Ramayana, Mahabharata, Pustaka Raja Purwa dan Purwakanda. Kini, juga terdapat buku-buku yang memuat lakon gubahan dan karangan yang selama ratusan tahun telah disukai masyarakat Abimanyu kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dan sebagainya. Diantara semua kitab tua yang dipakai, Kitab Purwakanda adalah yang paling sering digunakan oleh dalang-dalang dari Kraton Yogyakarta. Pagelaran wayang kulit dimulai ketika sang dalang telah mengeluarkan gunungan. Sebuah pagelaran wayang semalam suntuk gaya Yogyakarta dibagi dalam 3 babak yang memiliki 7 jejeran (adegan) dan 7 adegan perang. Babak pertama, disebut pathet lasem, memiliki 3 jejeran dan 2 adegan perang yang diiringi gending-gending pathet lasem. Pathet Sanga yang menjadi babak kedua memiliki 2 jejeran dan 2 adegan perang, sementara Pathet Manura yang menjadi babak ketiga mempunyai 2 jejeran dan 3 adegan perang. Salah satu bagian yang paling dinanti banyak orang pada setiap pagelaran wayang adalah gara-gara yang menyajikan guyonan-guyonan khas Jawa.

Wayang Kulit Purwa

Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu atau kambing).
Wayang kulit dipakai untuk memperagakan Lakon lakon dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa.
Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa, ngruwat dan lain-lain.
Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung.
Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara.
Rata-rata pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi.
Bila dilakukan pada siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00.
Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak.
Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang kulit, jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya.
Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya.
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan.
Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan.
Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja.
Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting.
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini.
Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.
Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri.
Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.
Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan.
Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain.
Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.
Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik.


Wayang Kulit, seni pertunjukan yang sudah cukup tua umurnya, adalah salah satu bagian dari seni pertunjukan Bali yang hingga kini masih tetap digemari oleh masyarakat setempat. Di desa-desa maupun di kota, masyarakat masih sering mempergelarkan Wayang Kulit dalam kaitan dengan upacara agama Hindu, upacara adat Bali, maupun sebagai hiburan semata.

Wayang Kulit Bali terdiri dari dua jenis, yaitu:

Wayang Lemah ( Wayan Gedog)
Wayang Peteng

Asal-usul Wayang Kulit di Indonesia hingga kini masih diperdebatkan oleh para ahli dan masih belum ada kesepakatan apakah Wayang Kulit memang asli Indonesia, dari India ataupun dari negara lain. Di lingkungan budaya Bali, pertunjukan Wayang Kulit diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad ke IX. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 ( 896 M), dari zaman pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan sejumlah istilah seni pertunjukan yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang (baca : Serba Neka Wayang Kulit Bali, 1975).

Sejak masa lampau pertunjukan Wayang Kulit menjadi salah satu media pendidikan informal bagi warga masyarakat. Betapa tidak, pertunjukan Wayang Kulit yang memadukan berbagai unsur seni rupa, sastra, gerak dan suara, dalam pementasannya tidak saja menampilkan lakon-lakon literer yang diambil dari karya-karya sastra klasik terutama Mahabrata dan Ramayana, kesenian ini juga menyajikan petuah-petuah mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan sosial sehingga masyarakat yang buta huruf akan memperoleh ajaran-ajaran tatwa, yadnya, etika dan lain-lain. Oleh masyarakat penonton semuanya ini dijadikan pedoman dan tuntunan bagi kehidupan mereka sehari-hari.

Sementara para dalang secara kreatif melakukan penyegaran kesenian mereka, wayang-wayang kreasi baru sudah banyak diciptakan sehingga menambah perbendaharaan seni perwayangan di pulau ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah munculnya dalang-dalang wanita berbakat yang siap bersaing dengan para dalang pria.

Di Bali, pertunjukan Wayang Kulit melibatkan antara 3 orang sampai 15 orang yang meliputi : dalang, pengiring dan jika diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan). Komando tertinggi dalam pertunjukan Wayang Kulit ada pada si dalang. Untuk mementaskan wayang para dalang Bali memerlukan sekitar 125 - 130 lembar wayang yang disimpan dalam kotak wayang (kropak).

Kiranya belumlah lengkap jika pembahasan mengenai seni pewayangan Bali tidak dilengkapi dengan adanya beberapa usaha inovasi dan kreatif dari para seniman dalang di pulau ini, atau memalui kerja patungan atau kolaborasi dengan seniman luar atau asing. Dalam usahanya memberikan nafas baru dalam wayang Parwa, dalang I Made Sidja atau Ida Bagus Ngurah (Buduk) memasukan gamelan Suling atau Pegambuhan. Belakangan ini dalang muda berbakat, Ida Bagus Sudiksa berkali-kali mementaskan wayang kulit Parwa dengan iringan gamelan Angklung lengkap, bahkan pernah dengan gamelan Balaganjur. Sebagai sajian tugas akhir, baik untuk menyelesaikan program Seniman (setingkat Sarjana) pada jurusan Seni Pedalangan di STSI Denpasar, para mahasiswa juga telah melakukan berbagai percobaan. Misalnya:
Penggunaan layar lebar berganda.
penggunaan tata-lampu modern, seperti lampu strobo, spot-lights, dan sebagainya.
pemakaian overhead-projector untuk menciptakan citra-citra realistis sebagai latar belakang.
pemakaian pemain wayang dalam jumlah yang banyak dengan satu orang dalang sebagai narator.
pemakaian wayang golek besar.
dan lain sebagainya.

Kesemuanya merupakan wujud nyata dari usaha para seniman dalang muda untuk terus menyegarkan kehidupan seni Pewayangan di Bali.

Dalam hal iringan, gamelan Selonding dan Selukat juga telah dicoba untuk mengiringi pertunjukan wayang Bali. Masih merupakan bagian dari perkembangan wayang kulit Bali adalah wayang Listrik yang merupakan hasil kerja patungan antara seniman (I Made Sidja, I Nyoman Catra, Desak Suarthi Laksmi) dengan seniman dalang Larry Reed dari San Francisco, Amerika Serikat, yang didukung oleh Gamelan Sekar Jaya di bawah asuhan komposer muda, I Dewa Bratha. Nama ini diberikan berdasarkan kenyataan bahwa dalam pertunjukannya terdapat perpaduan dua unsur penting yaitu : pemain wayang kulit Bali dengan permainan atau proyeksi cahaya lampu listrik.

Pertunjukan pertama wayang listrik ini dilakukan di San Fransisco dan pada tahun 1996 yang lalu juga dipentaskan di Bali dalam rangka Festival Wayang Walter Spies.


GAMBAR-GAMBAR

Simbolik

Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer.
Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews. Blumer terutama sekali menekankan pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan inti sari hubungan sosial.[1]
Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”, dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.[2]
Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”.
Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya.
Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. [3]
Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu. [4]
Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons.
Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera.
Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20.
Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya.
[1] Bisa dibaca lebih jelas pada karya Stephen W. Littlejohn (1995). Theories of Human Communication, 5th Edition. Belmont, Wadsworth Publishing Company
[2] When Mead had to give up his position as a lecturer at the University of Chicago due to illness, Blumer took over and continued his work. In his 1937 article "Social Psychology", Blumer coined the term symbolic interactionism and summarised Mead’s ideas into three premises: The way people view objects depends on the meaning these things have for them. This meaning comes about as a result of a process of interaction. The meaning of an object can change over time.
[3] Blumer, 1969, Ibid.hal
ARAH KAJIAN BAHASA:
KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAN IPTEK
DAN SOSIAL-BUDAYA 1)

Oleh: Anas Yasin 2)

Abstract
As a tool of communication and reflection of culture, language is a complex system. Compared to animal communication, human communication uses language, sign, symbol, and gesture according to the contexts and values in a certain culture, while animal communication is instinctively the same within a certain species without involving interpretation in terms of cultural contexts and values. The purpose of this article is to review language property of human beings in relation to thought, culture, and communication from different angles as well as the influence of social development toward language and language use and to see the direction of language studies accordingly. As a language researcher, what should one do and what would the result of the study be used for. Discourse analysis is one area of study which is amenable to be recommended in line with the purpose of this paper.
Kata kunci: arah kajian bahasa, perkembangan IPTEK, perkembangan sosial budaya
1. Pendahuluan
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia; tidak terdapat pada makhluk hidup lainnya, seperti binatang. Alat komunikasi pada binatang bersifat instinktif, sehingga proses komunikasi pada setiap jenis binatang semuanya sama. Seekor simpanse menyatakan rasa senang dengan memukul-mukul dadanya dengan kepalan tangan. Lebah melakukan putaran sambil terbang beberapa kali untuk mengomunikasikan bahwa pada jarak tertentu terdapat madu. Komunikasi binatang dilakukan dengan bunyi-bunyi dan isyarat tubuh yang sama pada setiap jenis binatang. Berbeda dengan binatang, manusia berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, isyarat, dan tanda. Kedua alat komuniaksi terakhir digunakan oleh binatang tetapi bahasa tidak. Bahasa sebagai alat komunikasi hanya digunakan oleh manusia (
Clark
, 1981). Sejalan dengan pemilikan bahasa oleh manusia, pikiran dari satu pihak dan budaya dari pihak lain juga milik manusia dan tidak terdapat pada binatang.
Makalah ini bertujuan untuk meninjau sepintas kepemilikan bahasa oleh manusia dalam hubungannnya dengan pikiran, budaya dan komunikasi ditinjau dari berbagai sudut, serta pengaruh perkembangan sosial terhadap bahasa dan penggunaan bahasa. Di samping itu, sebagai pengkaji bahasa, apa yang seharusnya kita lakukan dan untuk apa kita gunakan hasil kajian bahasa.

2. Bahasa Akuisisi dan Bahasa Pembelajaran
Pembicaraan tentang bahasa yang diakuisisi selalu berkisar tentang pemerolehan bahasa oleh anak-anak sampai umur empat tahun dengan sentral pembicaraan pada bentuk-bentuk bahasa yang dikuasai anak sampai pada tingkat umur tertentu. Anak-anak kelihatannya tidak menggandrungi bahasa tertentu dalam mengakuisisi bahasa. Mereka menyerap bahasa dengan mudah tanpa ada kesuliatan. Menurut para ahli psikolinguis, sampai dengan umur empat tahun, mereka sudah menguasai kosa kata, gramatika, makna semantis/paragmatis, dan wacana yang berhubungan dengan pengalaman mereka sehari-hari (Miller, 1979). Mudahnya mereka menguasai bahasa, tidak tergantung kepada lingkungan masyarakat bahasa yang mana mereka dibesarkan– seperti anak
Indonesia
yang dibesarkan di Jerman akan berbahasa Jerman, yang dibesarkan di Swedia akan berbahasa Swedia, dan seterusnya. Namun bahasa yang dikuasai oleh anak yang berumur sampai dengan empat tahun adalah bahasa sehari-hari yang bertahapan sesuai dengan tingkat umur. Tahapan pertama adalah bahasa ego yang berfungsi untuk mengungkapkan keinginan diri tanpa memperhatikan keinginan dan komunikasi dua arah. Pada tingkat umur tertentu, barulah anak secara sederhana dapat menanggapi keinginan orang lain dalam berkomunikasi secara pragmatis (Miller 1979). Konstruksi-konstruksi bahasa yang jarang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari; yang banyak dipakai dalam bahasa tulis dan konstruksi-konstruksi bahasa yang sangat rumit belum mereka kuasai (Slobin, 1985; 1992). Bentuk-bentuk bahasa formal, seperti bahasa pendidikan, bahasa pidato, bahasa diskusi, bahasa
surat
, bahasa buku, dan sejenisnya masih di luar jangkauan penguasaan anak. Pada saat anak-anak sudah masuk sekolah, akuisisi bahasa mereka semakin luas dan semakin memahami fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sesuai dengan perkembangan sosial-budaya. Bahasa akademis dan bahasa tulis mereka peroleh pada saat mereka berada di dalam masa pendidikan formal. Semakin maju suatu bangsa, semakin rumit bentuk komunikasi yang terjadi sesuai dengan kerumitan perkembangan budaya yang berkembang dalam masyarakat bahasa di mana seseorang dibesarkan dan semakin berkembang penguasaan bahasanya.
Pernyataan Slobin yang terakhir di atas adalah kunci perbedaan pandangan penguasaan bahasa oleh para psikolinguis dengan para ahli sosiolinguistik, pragmatik dan analisis wacana. Penguasaan bahasa oleh anak dengan konstruksi gramatika yang lengkap sudah dianggap sebagai penguasaan bahasa secara sempurna. Sebaliknya, penulis berpendapat sama dengan para ahli yang mengatakan bahwa akuisisi dan pembelajaran bahasa manusia tidak pernah ada akhirnya sampai akhir hayat seseorang. Dengan kata lain, selama penguasaan bahasa tidak hanya dipandang sebagai penguasaan bentuk-bentuk gramatika, tetapi dipandang dari hubungan perkembangan sosial-budaya yang mereka serap dan hayati dari kehidupan mereka, maka akuisisi dan pembelajaran bahasa oleh manusia berlangsung terus.
Dari dasar berpikir tentang hakikat pemilikan bahasa pada manusia, pertanyaan yang dikemukakan dalam makalah ini adalah ke mana kajian bahasa seharusnya dan sebaiknya diarahkan agar berdaya-guna terhadap pengembangan sumber daya manusia.

3. Bahasa, Konteks, dan Perluasan Pengertian Konteks
Berbagai pendapat ahli tentang definisi bahasa, tergantung pada filsafat kebahasaan yang dianut. Kaum mentalisme berpendapat bahwa bahasa adalah satuan-satuan proposisi yang dituangkan dalam kalimat (Menyuk, 1971). Kaum interaksionisme kognitif mengatakan bahwa bahasa bukan hanya pengetahuan penutur bahasa tentang proposisi, tetapi lebih luas dari itu—hubungan logis antar proposisi (Piaget, 1981). Tetapi aliran ketiga, kaum interaksionisme sosial berpendapat bahwa bahasa lebih luas lagi dari itu. Bahasa tidak saja dipandang dari konten proposisi, hubungan logis antar proposisi, tetapi juga melibatkan interpretasi sebagai hasil komunikasi antara pembicara dan pendengar. Interpretasi dapat dilakukan apabila konteks dipahami baik oleh pembicara maupun pendengar (Vygotsky, 1973).
Dengan pijakan ilmu kebahasaan yang sudah ada, para ahli semakin lama semakin menyadari bahwa sebenarnya konteks tidak terikat pada waktu, tempat, situasi, topik, partisipan, dan saluran percakapan, tetapi lebih meluas lagi dengan konteks-konteks yang jauh di luar pembicara dan pendengar yang terlibat dalam suatu komuniaksi antarpersona. Mereka telah mulai menjelajahi bahasa secara lebih khusus dan mendalam ke dalam kehidupan manusia yang menggunakannya. Manusia menggunakan bahasa bersama dengan perkembangan sosial budaya; manusia menggunakan bahasa dalam politik, ekonomi, agama, pendidikan, sains dan teknologi. Maka konteks bahasa tidak lagi hanya konteks pembicara-pendengar pada tempat, waktu, situasi, dan saluran tertentu, tetapi telah meluas ke dalam segala segi kehidupan manusia.
Karena itu Grundy (1998) menegaskan bahwa:
… Truth or enlightenment is contingent on an infinite process of scientific enquiry within a community of interpreters vis-a-vis phenomena of the real world, rather than being a transcendental state of mind arrived at by one particular individual (or group of individuals) at some particular period of time. …
Kebenaran interpretasi dalam suatu komunitas bahasa datang dari dunia nyata, bukan merupakan hasil pendapat manusia secara individu atau kelompok individu tentang bahasa pada periode waktu tertentu. Dengan rasional yang demikian, Grundy menarik implikasi bahwa:
1. we have no power of introspection, but at the same time all knowledge of our internal world is derived by hypothetical reasoning from our knowledge of external facts.

Apa yang ada di kedalaman pikiran manusia bersumber dari kenyataan-kenyataan yang terdapat di luar pikiran manusia itu sendiri melalui penalaran. Bahwa manusia mempunyai genetika kebahasaan tidak disangkal, tetapi genetika bahasa tidak bermakna apabila "knowledge of external facts" tidak ada. Karena itu, terkait dengan apa yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan, akuisisi dan pembelajaran bahasa tidak pernah berhenti sampai seseorang meninggal dunia.

2. we have no power of intuition, but yet every cognition is determined logically by previous cognitions

Seperti yang dinyatakan oleh Chomsky (1965), manusia mempunyai intuisi terhadap bahasa asli atau bahasa ibunya. Tetapi mungkinkah intuisi itu ada apabila kognisi sebelumnya tidak pernah ada? Dari mana kita tahu bahwa sebuah kalimat salah, jika kalimat itu sendiri tidak pernah ada sebelumnya? Dan keberadaan sebuah kalimat dalam bahasa tertentu di dalam otak seseorang tidak dibawa dari lahir, tetapi masuk ke dalam otak manusia sebagai input, bukan sebagai "property" otak manusia. Ini tidak saja terjadi pada akuisisi bahasa tetapi juga pada kognisi yang lain. Dapatkah manusia menggunakan intuisinya bahwa suatu norma dalam budayanya salah atau benar bila tidak didahului oleh keberadaan budaya tersebut sebelum dia lahir?

3. we have no power of thinking without signs.


Tanda-tanda atau simbul-simbul, termasuk bahasa, adalah alat berpikir manusia. Simbul-simbul tersebut sudah ada di luar diri seseorang sebelum dia lahir. Tanpa simbul-simbul tersebut manusia tidak dapat berpikir. Simbul-simbul tersebut dapat dipahami bukan oleh proses penyerapan pikiran secara individual, tetapi merupakan interaksi antara setiap individu dengan alam dan dengan individu lainnya baik perorangan maupun di dalam kelompok.

4. we have no conception of the absolutely incognizable

Tidak satupun konsepsi yang tidak dikenal oleh manusia. Artinya adalah bahwa melalui interaksi manusia dengan manusia lain dan dengan alam, sebuah konsepsi tetap dikenal oleh manusia di mana konsepsi itu lahir.
Keberadaan diri manusia, seperti yang kita ketahui, terbentuk melalui tanda-tanda yang merupakan bagian dari proses pengenalan tanda yang ada di dalam alam dan proses pengenalan tanda yang ada di dalam suatu komunitas. Kesadaran diri manusia saling terkait dengan mata rantai semiotik dan terbuka bagi struktur rasional yang terdapat di dalam alam ini. Kenyataan-kenyataan sebagai tanda-tanda eksternal yang diketahui atau yang dapat diketahui masuk dan menempati ranah pikiran manusia dan melalui perbandingan-perbandingan membentuk makna. Karena itu, berbeda dengan Chomsky (1958), Marvin Minsky (1988) mengemukakan bahwa pikiran adalah bawaan. Tetapi pikiran tidak dapat berbuat apa-apa tanpa tanda-tanda. Secara spesifik, dia mengatakan bahwa:

Meanings come about through interaction between readers and receivers and linguistic features come about as a result of social processes, which are never arbitrary. In most interactions, users of language bring with them different dispositions toward language, which are closely related to social positionings.

Peran interaksi sosial dalam pembentukan makna dalam kebahasaan sangat penting. Baik dalam akuisisi bahasa anak maupun pembentukan pemahaman orang dewasa secara individual terhadap sesuatu, pembentukan sebuah konsep atau pemahaman suatu proses kultural tidak lepas dari peran sosial-budaya.
Kembali kepada konteks dan perluasan pengertian konteks, dapat disimpulkan bahwa konteks tidak saja terbatas pada konteks-konteks langsung (immediate contexts) yang mencakup topik, latar, partisipan, saluran bahasa, dan fungsi bahasa (Freedle, 1979), tetapi juga melingkup semua tanda-tanda (signs) yang terdapat di dalam alam sesuai dengan komponen budaya di mana tanda-tanda tersebut itu ada (Halliday, 1986). Proses akuisisi dan pembelajaran bahasa oleh anak-anak dan orang dewasa selalu didampingi oleh tanda-tanda yang tersimpan di dalam komponen-komponen sosial budaya yang sekarang kita simpulkan sebagai perluasan konteks bahasa.

4. Arah Kajian Bahasa dalam Perkembangan IPTEK dan Sosial-Budaya
Orang di luar bidang bahasa selalu bertanya-tanya: "Untuk apa ilmu linguistik itu?" Sebagai ilmuan kebahasaan, kita mencoba menjawabnya dari sudut pandang azas manfaat. Setiap kajian kebahasaan mempunyai azas manfaat. Bila kita tinjau dari segi aliran, bidang kajian, dan komponen dari masing-masing bidang kajian bahasa, sebenarnya kita dapat menelusuri satu persatu manfaatnya. Tetapi di dalam makalah yang singkat ini, penulis tidak mungkin menjangkau semuanya. Bila kita perhatikan laporan penelitian kebahasaan baik penelitian lepas atau dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi mahasiswa, di dalamnya dicantumkan azas manfaat penelitian. Sebagai hasil penelitian linguistik murni, secara umum hasil penelitian dikatakan bermanfaat untuk menambah khazanah kebahasaan baik untuk linguistik
Indonesia
khususnya maupun linguistik secara umum. Pada sisi lain, baik yang bertolak dari aliran kebahasaan maupun dari bidang-bidang dan komponen masing-masing bidang, sebagai hasil penelitian kebahasaan terapan, hasil penelitian bermanfaat untuk diterapkan untuk berbagai kepentingan, seperti pendidikan dan pengajaraan, pengembangan sosial-budaya, pengembangan IPTEK, pengembangan seni dan sastra, dan sebagainya.
Noam Chomsky, misalnya, sebagai penganut mentalisme dalam kajian kebahasaan berpendirian bahwa hasil kajiannya tidak untuk dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran bahasa karena memang dia tidak mempunyai alasan untuk itu (Chomsky, 1980). Penganut mentalisme kebahasaan, seperti yang telah disinggung pada bagian terdahulu, mengkaji bagaimana makna-makna bahasa diserap oleh anak-anak melalui analisis hubungan logis antar unsur yang hanya melibatkan konteks semotaktik (konteks keterkaitan secara logis antar unsur di dalam kalimat). Karena itu manfaat hasil kajiannya diuntukkan pada pengayaan khazanah kebahasaan dalam bidang psikolinguistik. Karena psikolinguistik mempunyai kaitan dengan ilmu otak (neurologi), pertanyaan muncul: "Apakah kajiannya dapat dimanfaatkan untuk terapi bagi orang-orang yang bermasalah dalam pengucapan bahasa yang disebabkan oleh kerusakan gumpalan otak yang mengontrol bahasa (language lump)?" Jawabannya adalah "tidak" karena yang memperbaiki "kerusakan bahasa" bukanlah kajian Chomsky, tetapi kajian dan penelitian tentang otak itu sendiri. Kalau demikian, hasil kajian psikolinguistik hanya untuk kajian itu "per se". Manfaat hasil kajian suatu bidang ilmu merupakan hak "prerogatif" pengkajinya sendiri. Dengan kata lain, hasil kajian bahasa yang demikian merupakan inventarisasi kekayaan ilmu dan pengetahuan. Karena itu, salah satu klasifikasi hasil kajian bahasa adalah inventarisasi kekayaan ilmu pengetahuan. Bahasa dalam hal ini berfungsi sebagai ilmu (art).
Masuknya teknologi secara berangsur-angsur ke dalam ruangan kelas selama lebih dari 20 tahun cenderung mencerminkan perkembangan teknologi komputer yang sejalan dengan perkembangan pembelajaran dan pengajaran yang dilakukan oleh para ahli dan diangkat oleh guru untuk dilaksanakan di dalam kelas. Karena itu, pengenalan teknologi internet dalam pendidikan sejalan dengan beralihnya pendidikan dari minat terhadap teori belajar kognitif dan perkembangan ke arah teori sosial dan kerjasama (Hawisher, 1994).
Beberapa ahli mengemukakan bahwa era komunikasi hypertext dan internet yang telah mulai tumbuh pada pertengahan1990-an mengisyaratkan perlunya perluasan pandangan terhadap literasi: komputer tidak lagi dipandang sebagai pengganti guru atau alat yang "pintar" bagi pembelajar, tetapi sebagai media baru yang mengubah cara kita menulis, membaca, dan mungkin juga berpikir (Selfe, 1989). Tanpa berpegang kepada analisis radikal peran teknologi dan literasi, kita perlu melakukan penelitian tentang komputer dan pendidikan yang tidak hanya menghargai manfaat komputer secara pedagogis dan sosial tetapi juga menentukan secara tepat bagaimana bahasa, pembelajaran, dan pengajaran telah digantikan oleh penggunaan teknologi internet dan hypertext di dalam kelas. Bahasa internet merupakan bahasa wacana yang dapat dikaji dan dapat diterapkan dalam pendidikan dan pengajaran.
Tentu saja banyak hasil kajian bahasa yang berstatus seperti ini, namun kemajuan IPTEK dan sosial-budaya di segala bidang membuat kajian bahasa berkembang ke arah yang bersamaan dengan perkembangan itu. Di dalam makalah ini penekanan adalah pada kajian-kajian bahasa yang berkaitan dengan perkembangan tersebut, seperti pendidikan dan pengajaran, politik, kritik, komputerisasi, ekonomi, teknik, pariwisata, komunikasi, dan banyak lagi.
Penulis, dalam makalah ini, tidak akan menguraikan perkembangan IPTEK dan sosial-budaya secara konseptual, teoritis dan sistematis karena hal tersebut adalah di luar jangkauan penulis. Tetapi penulis akan memberikan contoh-contoh perkembangan tersebut secara acak dan mengaitkannya dengan kajian kebahasaan.

5. Analisis Wacana
Ada
dua jenis wacana, wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan berbentuk komunikasi verbal antar persona, sedangkan wacana tulis ditampilkan dalam bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks dalam hal bahwa wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila penganalisis melihat hubungan kebahasaan antar tuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila yang dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Dalam makalah ini, penekanan bahasan adalah pada wacana.
Bahwa budaya mempengaruhi "
gaya
" percakapan secara sistematis merupakan prinsip pendekatan analisis wacana yang dikenal sebagai etnografi komunikasi, yang mengkaji bagaimana kaidah-kaidah budaya menentukan struktur dasar percakapan. Bagi etnografer di bidang ini, budaya merangkul pengetahuan dan pelaksanaannya, termasuk tindak tutur. Dalam hal yang demikian, etnografi komuniaksi adalah payung teori tindak tutur. Karena itu, barangkali, pendekatan komunikasi yang mengatakan bahwa tidak hanya totalitas pengetahuan dan pelaksanaan budaya tercakup di dalam wacana tapi juga penekanan pada bahasa menjadikan kedua kajian ini lebih banyak diperhatikan pada saat ini.
Karena totalitas budaya tercakup secara dominan di dalam kajian wacana, maka semua aspek kehidupan sosial-budaya manusia dapat dianalisis melalui wacana. Makna dan modernitas merupakan usaha yang ambisius untuk membangun kembali konsep dari pragmatisme filosofis untuk teori sosial yang kontemporer. Halton (1986) mengemukakan nilai-nilai sikap pragmatis sebagai cara berpikir. Selama ini, teknik rasionalisasi melepaskan diri dari konteks yang hidup.Yang lebih menarik dewasa ini adalah arah kajian sosial budaya dan wacana bisa dilakukan dalam dua arah–melalui wacana, kita dapat mengkaji budaya dan melalui budaya kita dapat mengkaji wacana.

6. Analisis Percakapan
Berikut ini, van Dijk (1998) mengulas tentang analisis percakapan. Seperti yang telah diperlihatkan oleh peneliti etnografi komunikasi dan para ahli bahasa lainnya, pemanfaatan kegiatan yang diatur oleh kaidah secara empiris dapat diuji dan diverifikasi kebenarannya. Analisis empiris peran tingkah laku yang diatur kaidah di dalam interaksi percakapan merupakan sentral pendekatan; dasar empirisnya menupangnya dengan metode yang tangguh karena hipotesis tentang percakapan yang terjadi pada suatu interaksi dapat diverifikasi dengan mengkaji interaksi dalam percakapan yang lain. Hasilnya adalah bahwa banyak para linguis dan sosiolog memfokuskan kajian mereka pada hal-hal yang diatur kaidah di dalam percakapan dan menemukan prinsip-prinsip utama. Ini bukan berarti bahwa sudah ada pendekatan yang diatur oleh kaidah yang sistematis dalam analisis wacana.
Sebaliknya, pendekatan yang berdasarkan kaidah dalam menerangkan makna telah dikeriktik secara luas, sebagi sesuatu yang terlalu umum untuk dimanfaatkan. Disarankan oleh banyak ahli agar kajiannya dibatasi di berbagai kemungkinan. Namun penganut kaidah percakapan membalasnya dengan mengatakan bahwa kaidah bukan untuk dipakai secara ketat, namun dalam percakapan terdapat kaidah yang dapat dipedomani. Dengan melihat bahwa ada kaidah dalam struktur percakapan, kita membatasi agar kajian kita tidak menjadi sesuatu yang tidak berujung.

7. Ketidak-pastian Makna
Pada saat tertentu, makna bisa menjadi tidak terbatas, baik bagi penganalisis maupun bagi interlokutor. Ini merupakan kenyataan bahasa. Persepsi dan interpretasi setiap wacana bersifat sangat subyektif. Terdapat kemungkinan bahwa interpretasi dan reinterpretasi merupakan sesuatu yang tak berujung, hanya pembicara, pendengar, dan pengamatlah yang tahu. Interpretasi struktur simbolis ditentukan oleh makna kontekstual simbolis yang tak terbatas. Van Dijk menegaskan bahwa tak satupun pendekatan yang dapat menginterpretasi makna secara pasti. Apa yang dilakukan adalah usaha memaksimalkan interpretasi tersebut kearah kebenaraan.
Di dalam analisis wacana yang terkait dengan perkembangan sosio-kultural, ketidak-pastian makna disebabkan oleh berbagai "lingkungan wacana" yang memungkinkan keberadaan ungkapan yang harus diinterpretasi. Lingkungan itulah yang kita maksudkan dengan konteks. Makna konseptual sebuah kata, makna logis sebuah kalimat, dan makna logis antar kalimat belum dapat menjamin ketepatan makna yang dimaksudkan oleh penuturnya.
Ada
komunikasi di luar konsep dan di luar logika yang harus "dibuntuti" sehingga kita menemukan interpretasi yang kira-kira mendekati kebenaran. Konsep sebuah kalimat yang efektif tidak berkisar sebatas penggunaan kata yang tepat, kalimat yang gramatikal dan stilistika yang benar, tetapi jauh di luar itu; pengetahuan penulis tentang sosio-kutural yang kontekstual juga harus dilihat sebagai aspek yang harus menjangkau konsep tersebut.
Kajian wacana dapat pula diarahkan pada analisis antar wacana. Interaksi antar wacana diumpamakan oleh van Dijk sebagai permainan catur. Bagaimana satu individu atau suatu kelompok masyarakat memahami wacana individu/kelompok lain dan bagaimana kelompok kedua menanggapi wacana kelompok pertama, dan seterusnya. Analisis yang demikian erat sekali kaitannya dengan aksi apa yang akan terjadi sesudah itu. Sebuah berita koran yang bahasanya menggunakan konsep kata, logika kalimat, dan logika wacana yang kelihatan netral mungkin saja dapat menyinggung perasaan pembaca dalam kelompok tertentu dan kemudian segera terjadi makar.dan tentulah ini erat pula kaitannya dengan kultur yang dianut oleh masyarakat tersebut. Karena itulah kajian wacana yang terkait dengan perkembangan IPTEK dan sosial-budaya merupakan kajian yang signifikan untuk dilakukan tanpa melepaskannya dari azas manfaat. Bagaimana pemanfaatan hasil kajian tersebut untuk kepentingan mayarakat luas. Itulah pertanyaan yang paling signifikan yang harus dijawab oleh pengkaji bahasa. Contoh-contoh berikut sedikit memberikan gambaran tentang azas manfaat kajian wacana.


8. Beberapa Contoh Kajian Wacana
Bila kajian bahasa dikaitkan dengan perkembangan IPTEK dan sosio-kulutural, kajian kebahasaan akan mempunyai sumber yang tidak terbatas, terutama kajian wacana. Berikut ini beberapa contoh kajian wacana yang terkait dengan perkembangan sosial-budaya dan IPTEK.
1. Pandangan Orang Finlandia terhadap Berita Televisi CNN: Analisis Kritik Antar-Budaya tentang Gaya Wacana Komersil Orang Amerika
oleh: Brett Dellinger
Abstrak:
Terintegrasinya ekonomi Eropah dan permintaan yang meningkat terhadap keberhasilan iklan di pasar Eropah memaksa pemerintah melakukan deregulasi, restrukturisasi, dan komersialisasi monopoli penyiaran publik yang tidak komersil, sudah lama berdiri, dan secara tradisional mendominasi wacana publik. Restrukturisasi dan komersialisasi alat yang digunakan untuk menyebarkan informasi oleh publik ini diiringi oleh perubahan-perubahan struktur kebahasaan wacana publik yang biasa dipakai.
Cable News Netrwork (CNN) sebagai jaringan yang menyiarkan segala macam berita di Eropah melalui satelit dan kabel, terbukti sebagai model yang populer dan terjangkau dan dapat dikaji serta ditiru. Namun daya tarik CNN bagi penyiaran-penyiaran di Eropah bukanlah pada berita yang disiarkan selama 24 jam, tetapi pada penggunaan
gaya
wacana komersil oleh pencipta yang sudah berpengalaman dan profesional.
Kajian ini memfokuskan pada asal-usul gaya wacana komersil Amerika secara historis, politis, ekonomi, dan ideologis, dan secara kritis menganalisisnya dengan bantuan antar-budaya orang Finlandia, orang yang belum menerima gaya tersebut secara implisit sebagai "berita". Di dalam analisis wacana berita komersil ini juga termasuk kajian fenomena yang dapat menyebabkan kesalah-pahaman, yang juga dikenal sebagi "gap", dalam penyerapan makna yang disajikan oleh CNN dalam gaya komersil Amerika dan diterima oleh orang Finlandia. Perbedaan persepsi tentang pesan-pesan CNN dikaji dan dianalisis antar-budaya untuk menemukan dan mengekspos perkiraan-perkiraan tentang
gaya
wacana komersil. Aspek-aspek
gaya
wacana komersil juga dikaji, termasuk pembuatan kerangka berita dan sari berita.

2. "Critical Discourse Analysis (CDA)"
Contoh lain perkembangan kajian bahasa adalah "Critical Discourse Analysis" (CDA) yang dipopulerkan oleh van Dijk (1978) melalui websites http://www.hum.uva.nl/~teun/cda.htm. CDA sudah membuat kajian bahasa menjadi alat interdisipliner dan digunakan oleh para ahli dengan bermacam-macam latar belakang, termasuk kritik media. Yang paling signifikan lagi adalah bahwa CDA menawarkan kesempatan untuk mengangkat perspektif sosial di dalam studi teks media antar budaya, seperti kajian wacana politik, yang berbeda dengan analisis teks secara linguistik, pragmatik, dan sosiolinguistik. Sementara kebanyakan bentuk analisis wacana bertujuan untuk memahami aspek sosio-kultural wacana, CDA bertujuan untuk menjelaskan perwujudan, struktur internal, dan susunan teks secara keseluruahan. Salah satu perbedaan utama adalah bahwa CDA bertujuan untuk mengeriktik deskripsi dan teori wacana.
Ada
tiga pertanyaan dasar kajian CDA:
a. Bagaimana kelompok yang (lebih) kuat mengontrol wacana publik?
b. Bagaimana wacana yang demikian mengontrol pikiran dan tindakan kelompok yang (lebih lemah) dan apa dampak sosial pengontrolan yang demikian, seperti kesenjangan sosial?
c. Bagaimana kelompok yang didominasi secara tidak langsung menantang kekuatan tersebut.
3. Contoh Pemanfaatan Komputer dalam Kebahasaan
• Sistem Pembelajaran Bahasa melalui Komputer (CALL)
• Pemeriksa tata bahasa dan stilistika dan membantu penulis menulis tek yang jelas.
• Untuk menghindarkan salah komunikasi informasi antar batas bahasa.
• Alat penganalisis deskripsi teks dan mencari gambar yang cocok dengan deskripsi tersebut.
• Sistem yang membuat kita dapat menghasilkan berbagai jenis teks untuk tujuan yang berbeda dari sumber informasi yang sama, misalnya, pemasaran, pemeliharaan, pelatihan, pengelolaan.

9. Kesimpulan
Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditetukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dati konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.
Dalam kajian bahasa seharusnya para ahli bahasa mengarahkannya pada keterkaitan keduanya. Sosiokultural kehidupan manusia selalu berkembang, termasuk IPTEK. Karena itu dewasa ini arahan penelitian kebahasaan sudah banyak yang menuju ke
sana
, sehingga hasil kajian bahasa dapat dimanfaatkan untuk kehidupan umat manusia. Secara khusus, kajian pragmatik, seperti kajian wacana, sangat diminati oleh para peneliti yang menginginkan bahasa tidak terpisah dari komunikasi dan sosial-budaya.
Karena bahasa tidak terlepas dari komunikasi dan sosial-budaya, maka kajian bahasa akan selalu mengikuti perubahan-perubahan yang ada di dalam sosial-budaya. Bila sebelumnya, penelitian wacana hanya meneliti proses interpretasi di dalam wacana itu sendiri, dewasa ini para peneliti sudah keluar mencari kaitan wacana dengan sosiokultural. Kajian wacana bahkan sudah mulai mengarah kepada kajian interdisipliner, seperti kajian bahasa untuk berbagai bidang yang manfaatnya kemudian dipetik oleh pendidikan dan pengajaran bahasa. Kajian bahasa dewasa ini sudah mulai menjangkau kajian di luar kajian kalimat yang lepas konteks.

ISLAM DAN SENI DI INDONESIA
(Abdul Hadi W. M., 2004, 0 halaman)
Persoalan hubungan Islam dengan seni, sebenarnya bukan hanya persoalan sikap kebanyakan ulama dan fuqaha� (ahli hukum Islam) yang kaku dan risih terhadap kegiatan seni. Persoalan yang tak kalah penting justru menyangkut hal-hal mendasar. Pertama, menyusutnya ingatan kolektif umat Islam terhadap khazanah budaya Islam, khususnya seninya, yang kaya dan pernah berkem_ang selama beberapa abad bukan saja di belahan negeri Arab dan Persia, tetapi juga di kepulauan Nusantara; Kedua, merosotnya pemahaman konseptual tentang seni di kalangan luas pemeluk agama Islam, serta ketidakpedulian mereka terhadap arti dan peranan penting seni dalam kehidupan. Khususnya sebagai sarana pendidikan dan pemekaran imaginasi, yang niscaya bermanfaat bagi perkembangan kebudayaan dan peningkatan kreativitas umat. Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang masyhur Kimiya-i Saadah, malah mengatakah bahwa apabila diberdayakan dengan tepat dan sungguh-sungguh, seni dapat menyemarakkan kehidupan keagamaan. Yang tak kalah penting lagi, namun belum benar-benar disadari ialah bahwa seni juga bisa dijadikan sumber pemberdayaan ekonomi umat, khususnya seni rupa, desain, kerajinan, arsitektur dan musik. Penyebab utama dari dua hal yang telah disebutkan dapat dicari dalam faktor pengajaran dan pendidikan. Di samping itu, kecilnya minat dan pengetahuan masyarakat terhadap seni juga disebabkan kurangnya kegiatan apresiasi yang dilakukan oleh lembagalembaga dan organisasi-organisasi sosial keagamaan. Dalam kaitannya dengan pengajaran dan pendidikan, sampai saat ini kita tidak melihat adanya lembaga pendidikan tinggi Islam yang bersedia membuka jurusan seni rupa dan desain. Sekalipun beberapa universitas Islam memiliki jurusan adab dan sastra, namun mata kuliah seperti kesusastraan Islam, sejarah kebudayaan dan kesenian Islam, jarang sekali diajarkan secara sungguh-sungguh dan cukup mendalam Para sarjana kita juga jarang yang berminat untuk khazanah intelektual dan sastra Islam Nusantara. Padahal khazanah tersebut sangat melimpah, khususnya yang ditulis dalam bahasa Melayu, Jawa dan Sunda. Apabila teks-teks klasik itu dikaji secara mendalam, niscaya akan diperoler perspektif yang luas tentang perkembangan Islam di Indonesia. Kita juga akan mengenal sumber-sumber nilai dari kebudayaan Islam yang berkembang di Indonesia dan lebih bisa memaharni watak dan ciri perkembangannya di masa kini. Dalam sejarah penyebaran Islarr di Indonesia tidak jarang seni digunakan sebagai media penyebaran agama yang ampuh, khususnya pada masa awal berkembangnya Islam. lni tampak rnisalnya dalam aktivitas para wali di pulau Jawa dan Sumatra pada abad ke-16 dan 17 M. Wali-wali seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Drajat dan Sunan Kalijaga berperan besar dalam mengembangkan seni dan kebudayaan Jawa yang bernafaskan Islam. Mereka mampu mentransformasikan bentuk-bentuk seni warisan Hindu menjadi bentuk-bentuk seni baru bermuatan Islam. Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati sebagai contoh adalah juga perintis penulisan puisi suluk atau tasawuf, yang pengaruhnya besar bagi perkembangan sastra. Tidak sedikit sarjana Barat dan Timur yang memaparkan bukti-bukti betapa para sastrawan memainkan peranan penting bagi kebudayaan Islam di kepulauan Melayu Nusantara. Bahkan tidak sedikit di antara ulama-ulama Nusantara dan ahli-ahli tasawufnya sesungguhnya juga budayawan-budayawan dan sastrawan-sastrawan terkemuka. Syed Muhammad Naguib al-Attas (1970) rnisalnya membuktikan bahwa bahasa Melayu, yang merupakan asal-usul bahasa nasional Indonesia dan Malaysia sekarang, dapat terangkat naik menjadi bahasa intelektual dan kebudayaan tinggi dan bertaraf internasional, berkat kerja keras para sufi seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel. Sebelum mengalarni proses pengislaman, bahasa Melayu hanya dipakai lingua franca atau sebagai bahasa perdagangan. Tetapi di tangan sastrawansastrawanrn sufi Melayu abad ke-15 dan 16 M, bahasa Melayu naik peranannya sebagai bahasa intelektual dan keagamaan paling menonjol di Asia. Berkat penggunaan bahasa Melayu yang luas. dengan teks-teks ilmu agama dan sastranya, Islam deng:an cepatnya berkembang di kepulauan Nusantara. Peranan para pedagang dan muballigh tentu saja tidak dapat diabaikan pula. Sedangkan Braginsky (1993) yakin bahwa kesusastraan Melayu memainkan peranan penting karena telah meletakkan fundasi yang mantap bagi kebudayaan Islam di Indonesia dan Malaysia. Hendaknya diingat bahwa karya-karya mereka yang bernilai sastra tidak hanya mengungkapkan pemikiran tentang kesenian dan estetika, tetapi juga berkaitan dengan ilmu fiqih, syariah, hadis, tafsir al-Qur�an, usuluddin dan tasawuf, yang dipaparkan melalui ungkapan sastra atau puisi. Memang sejak dulu telah muncul perdebatan sengit tentang peranan dan kedudukan seni di kalangan sesama ulama. Dapat disebut di sini yang paling menonjol ialah perdebatan antara Nuruddin al-Raniri, yang mewakili para fuqaha, dengan muridmurid Syamsudin Pasai dan Hamzah Fansuri pada awal abad ke-17 M di Aceh. Perdebatan tersebut menyangkut masalah pemahaman konseptual tentang seni dan metode penafsiran ungkapan estetik simbolik seni. Yang satu menggunakan argumentasi ilmu fiqih, yang cenderung menafsirkan ungkapan dalam seni secara formal dan harfiah. Sedang yang lain menggunakan argumentasi tasawuf, yang dalam menafsirkan karya seni atau sastra berangkat dari penafsiran hermenneutik (ta�wil). Nuruddin al-Raniri berpendapat misalnya bahwa seorang Muslim tidak sepatutnya membaca cerita-cerita zaman Hindu seperti Ramayana dan Hikayat Pandawa Lima, yang pada masa itu masih disalin oleh penulis-penulis Muslim dan digemari oleh orang-orang Melayu Islam. Pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani berpendapat bahwa tidak ada salahnya orang Islam membaca karya-karya zaman Hindu, karena karya-karya tersebut telah disadur dan diberi nafas Islam, walaupun tidak secara keseluruhan. Nuruddin al-Raniri dan para fuqaha yang lain memandang pantun dan syair digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang rendah dan mudharat. Tetapi lawannya membuktikan bahwa para sufi seperti Hamzah Fansuri dapat menggunakan pantun dan syair sebagai bentuk pengucapan nilai-nilai kerohanian yang tinggi. Bahwa seni memainkan peranan penting dalam penyebaran agama dan pengukuh kebudayaan bernafas religius; Islam Hamid dalam bukunya Asas-asas Kesusasteraan Islam (Kuala Lumpur 1985) menyebut kesaksian seorang ahli sejarah Muslim abad ke-15 M, yaitu Syekh Zainuddin al-Ma'bari. Dalam Tuhfat al-Mujahidin, sebuah buku yang memuat laporannya tentang penyebaran agama Islam di India dan Asia Tenggara, dia mengatakan bahwa berhasilnya dakwah Islam di wilayah ini banyak dibantu oleh pembacaan kisah Nabi Muhammad s.a.w. yang dinyanyikan dengan indah. Sampai sekarang pembacaan riwayat Nabi dengan cara dinyanyikan, seperti pada pembacaan Kasidah Burdah, Syaraful Anam, Syair Rampai Maulid dan lain-lain, tetap dilakukan oleh masyarakat Muslim tradisional. Di Jawa, para wali seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, dalam dakwahnya sering menggunakan gamelan. Berkat kreativitas para wali inilah gamelan Jawa, Sunda dan Madura berbeda estetikanya dari gamelan Bali yang meneruskan estetika Hindu. Gamelan Jawa dan Degung Sunda cenderung kontemplatif, karena dalam estetika Islam yang diutamakan ialah penciptaan suasana khusyuk dan tafakur dalam merenungi Yang Satu. Bukti lain ialah kesaksian seorang musafir Portugis bernama Tome Pires yang mengunjungi pulau Jawa pada awal abad ke-16 ketika para wali sedang aktif mengislamkan pulau Jawa. Dalam bukunya Suma Oriental Tome Pires mengatakan bahwa di antara para wali itu sangat aktif mengajarkan seni kerajinan kepada murid-muridnya dan masyarakat di sekitar tempatnya berdakwah. Ukiran Jepara dan Madura yang sampai sekarang ini sangat terkenal dan berpusat masing-masing di kota Jepara dan desa Karduluk, Sumenep, merupakan contoh yang tepat tentang kesinambungan kegiatan seni kerajinan yang dirintis para wali sufi di Jawa pada abad ke-16 M. Kedua tempat ini, Jepara dan Sumenep, sejak lama merupakan pusat penyebaran agama slam yang penting di pulau Jawa. Ukiran-ukiran Pesisir ini didominasi ragam hias tetumbuhan (arabesque) dan pola geometri, Yang merupakan kecenderungan umum seni Islam. Batik Pesisir juga dipenuhi ragam hias tetumbuhan, beserta pewarnaannya yang kaya dan simbolik. Pola semacam itu ada hubungannya dengan seni hias yang berkembang di Persia dan Mughal India. . Bukan pula suatu kebetulan apabila bentuk bangunan Masjid Demak seperti yang kita lihat sekarang ini berbeda dari bangunan masjid lain yang ada di Timur Tengah dan Iran, serta mendekati bangunan lokal. Woodward dalam bukunya Islam Jawa yang baru-baru ini terbit (1999) membandingkan bentuk bangunan masjid-masjid tradisional Jawa yang mengambil modelnya dari bentuk bangunan Masjid Demak dengan masjid-masjid lama di Kerala, Malabar, India Selatan. Menurut kajian dan penelitian Woodward masyarakat Muslim tradisional Jawa dan faham keagamaannya memang mempunyai hubungan dengan masyarakat Muslim Kerala. Pada mulanya mereka merupakan sekumpulan orang Islam yang datang dari Yaman Selatan. Pada abad ke- 13 M mereka berbondong-bondong pindah ke India dan Nusantara disebabkan kekacauan di wilayah kekhalifahan Badghad yang dihancurkan oleh tentara Mongol. Mereka menganut mazhab Syafi�i dan mempunyai kecenderungan tasawuf yang kuat. Baik di Kerala maupun di Jawa, komunitas Muslim yang jumlahnya besar di kota-kota pesisir ini menguasai perdagangan palawija dan barang komoditi lain. Mereka mengkeramatkan para wali dan menghormati kedudukan ulama atau kiyai. Mereka membuat bangunan masjid berdasarkan arsitektur lokal, yaitu meru atau pagoda Hindu yang beratap tumpang tiga sebagai simbol untuk gunung kosmik. Tumpang tujuh dirubah menjadi tumpang empat sebagai lambang tahapan perjalanan kerohanian dalam Tasawuf yaitu: Syariat, Tarekat, Hakekat dan Makrifat; atau lambang peringkat-peringkat alam dalam Kosmologi Islam, yaitu (dari bawah ke atas): Alam Nasut, Alam Malakut, Alam Jabarut dan Alam Lahut. Sedangkan alam tertinggi dari kewujudan yaitu Alam Lahut (Alam Zat Ketuhanan yang tak dikenal) tidak dilambangkan sama sekali. Namun demikian susunan bangunan yang terdiri dari ruang dalam dan ruang luar, halaman dalam dan halaman luar, serta desain interiornya, sama sekali berbeda dengan bangunan suci orang Hindu. Agaknya kita juga tidak boleh menutup mata atas kenyataan bahwa seni batik, ukiran perabot dan lain-lain, yang pusat-pusat industrinya berada di daerah pesisir Pulau Jawa seperti Cirebon, Pekalongan, Lasem, Jepara, Tuban, Madura, Probolinggo dan lain-lain, baru berkembang pesat setelah masuknya Islam. Kota-kota pesisir ini tumbuh berkat. semakin tumbuhnya komunitas Islam yang aktif dalam perdagangan dan menguasai dunia pelayaran. Munculnya Yogya dan Solo sebagai pusat seni batik yang maju hanya mungkin setelah berdirinya kerajaan Mataram. Tradisi batik dibawa ke tempat ini dari pesisir. Batik berkembang pada zaman Islam karena industri kain India baru berkembang pesat pada abad ke-16 pada zaman Dinasti Mughal memegang tampuk pemerintahan di India. Penguasaan terhadap perdagangan kain India pada waktu pula berada di tangan pedagang-pedagang Muslim yang menguasai pelayaran ke Timur. Kalau kita berpaling pada kesusastraan Melayu antara abad ke-16 dan 19, dan juga kesusastraan Nusantara lain dalam bahasa-bahasa yang pemakainya beragama Islam seperti Aceh, Mandailing, Minangkabau, Palembang, Banjar, Sunda, Jawa, Madura, Sasak, Bugis Makassar, Bima, Gorontalo dan lain-lain, akan tampak betapa aktivitas dan produktivitas penulis Muslim sangat dominan dalam wacana keilmuan, agama dan budaya. Van Ronkel (1905) ketika menyusun daftar naskah-naskah berbahasa Melayu dan Nusantara menyebutkan bahwa 95% dari naskah-naskah tentang agama, sastra, hukum, adab, dan berbagai disiplin ilmu lain yang terdapat di Museum Jakarta (sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta) berkaitan dengan Islam. Naskah-naskah ini ditulis di berbagai tempat seperti Aceh, Palembang, Minangkabau, Banjarmasin, Riau, Pontianak, Gorontalo, Makassar, Bima, Ternate, Lombok, Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten dan Lampung. Gambaran yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa Islam sudah lama menumbuhkan sebuah tradisi seni yang adiluhung, terutama dalam sastra, kaligrafi, seni dekoratif dan lain-lain. Melalui tarekat-tarekat Sufi yang aktif sejak abad ke-15 Islam juga mengembangkan beberapa jenis musik dan tarian, baik yang bersumber dari tradisi Islam Arab-Persia maupun yang bersumber dari tradisi Melayu-Jawa seperti gamelan dan lain-lain. Saluang Minang, yang mencerminkan pengaruh tilawah pada musik lokal; tari Seudati Aceh, yang tumbuh dari tari-tarian Sufi sebagaimana tari Pantil di Madura, Zikir Rebana dan lain-lain di lingkungan masyarakat Melayu; berbagai ragam motif seni hias yang simbolik dan indah pada batik, perahu, perabot rumah tangga dan lain-lain seperti motif bebek pulang, sidomukti, kembang setaman, burung simurgh dan lain-lain; begitu juga tembang-tembang suluk dalam bahasa Jawa, Sunda dan Madura; Hikayat Nabi-nabi (Surat al-Anbiya'), Kitab Tajus Salatin dan Thamratul Muhimmah (dua kitab tentang politik dan kenegaraan masing-masing karangan Bukhari al-Jauhari dan Raja Ali Haji), Serat Menak, Hikayat Amir Hamzah, Umar Umaya, Cerita Nabi Yusuf dan Zuleikha, Syair Siti Zubaidah Perang Dengan Cina (di Jawa disebut Menak Cina), Syair-syair Tasawuf, Syair Maulid dan lain-lain - untuk menyebut beberapa contoh yang populer sampai ini - menunjukkan maraknya kegiatan seni Islam di masa lalu dan pengaruhnya yang langgeng sampai saat ini. Begitu pula sebenarnya cukup banyak karya seni yang dihasilkan para seniman Muslim modem sejak zaman Hamka sampai kini, khususnya dalam sastra, seni rupa, musik, seni suara dan teater yang bemafaskan Islam, yang di antaranya mendapatkan pengakuan intemasional. Namun sangat disayangkan bahwa khazanah seni Islam yang sangat kaya ini sudah banyak orang Islam yang tidak mengenalnya lagi. Karena itu tidak mengherankan apabila sampai sekarang ini masih banyak yang meragukan apakah seni Islam ada dan pernah berkembang di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang meragukan adanya seni dengan label Islam (dengan beragam pengertian yang mudah dipahami sekalipun). Di antara mereka yang meragukan itu tidak sedikit ialah para sarjana, cendekiawan dan pengamat seni yang beragama Islam, namun tidak pernah mempelajari Sejarah Islam atau Sejarah Kebudayaan Islam dengan baik, terlebih-lebih yang menyangkut seni atau sastra dengan latar belakang gagasan dan pemikirannya. Bahkan kita juga dapat mengatakan bahwa dalam banyak aspek berkenaan kebudayaan Islam, pemeluk agama Islam di Indonesia telah banyak kehilangan ingatan kolektif atau kesadaran sejarah, dan sebagai akibatnya mengalami krisis jatidiri dan krisis kepercayaan diri. Konstruksi pengetahuan yang diajarkan di lembaga pendidikan formal dan informal tidak memberi peluang mereka mengenal sejarah pencapaian Islam dalam peradaban dan kebudayaan dengan baik. Saya ingin memberikan contoh yang menarik. Sebelum dan bahkan sesudah terselenggaranya Festival Istiqlal I 1991, yang dinilai sukses besar sebagai festival kebudayaan Islam Indonesia yang akbar; disusul terselenggaranya Festival Istiqlal II 1995 yang melatarbelakangi berdirinya Bayt al-Qur�an & Museum Istiqlal pada tahun 1997. Sebelum Festival Istiqlal I banyak yang meragukan bahwa festival ini akan berhasil. Keraguan itu, pertama-tama berkenaan dengan khazanah dan ragam seni Islam yang akan dipertunjukkan dan dipamerkan. Kedua, berkenaan dengan dukungan dari masyarakat Muslim. Tetapi keraguan itu terhapus setelah Festival Istiqlal I digelar. Seni Islam ternyata ada dan wujud dengan kokohnya di Indonesia, serta tetap berkembang hingga masa modern ini. Namun demikian masih saja tetap ada yang meragukan apa seni Islam itu ada dan apakah Islam telah cukup sumbangannya bagi perkembangan seni di Indonesia dan masa kini. Dalam berbagai karangannya beberapa seniman dan budayawan Muslim seperti AD. Pirous, Hasan Muarif Ambary, Taufiq Ismail, Machmud Bukhari, Ahmad Noe�man, Taufik Abdullah, Yustiono, Ibrahim Alfian dan lain-lain dengan tegas menyatakan bahwa tidak diragukan lagi seni Islam atau bernafas Islam ada di Indonesia dan telah berkembang sejak abad ke-12 dan 13 M. Dalam tulisannya �Seni Yang Bernafaskan Islam di Indonesia: Kajian Khusus Seni Rupa Masa Kini dalam Perspektif Seniman Muslim� (1997) A.D. Pirous antara lain menulis: �Masuknya Islam di Indonesia menghentikan kegiatan pembuatan candi-candi Hindu atau tempat pemujaan Buddha, dengan demikian menyusut pula kegiatan pembuatan patung atau area-area... (ini) mendorong perhatian para seniman Muslim Indonesia untuk menyalirkan seni rupanya di bidang kerajinan dan seni dekoratif yang berkembang dengan kekayaan bentuk ornamen, sangat terlihat melalui ungkapan seni batik. Seni batik ini ditandai dengan dipakainya ratusan bentuk ornamen yang berasal dari bentuk flora dan fauna di Indonesia, dengan kecenderungan penggunaan warna yang saling berbeda di beberapa daerah (Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Tasikmalaya dan Lampung)... Wayang beber, salah satu pertunjukan wayang sebagai media penyebaran agama Islam, adalah karya lukis pada kain yang bersumber pada tradisi pra-Islam. Oleh tangan para seniman Muslim terciptalah karya lukisan dengan gaya dekoratif yang mengandung tema cerita sejarah dan legenda. Tentang seni rupa modern yang bernafaskan Islam, yang melahirkan gerakan Seni Rupa Islam Kontemporer, A.D. Pirous antara lain menyatakan bahwa perkembangan seni rupa bernafaskan Islam ini telah mulai berkembang sejak tahun 1970an. Pada waktu itu juga mulai tampak kebangkitan kembali penulisan sastra bernafas Islam; di antaranya dengan munculnya karya-karya Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, Sutardji Calzoum Bachri dan lain-lain yang berkecenderungan sufistik, atau sajak-sajak sosial keagamaan yang dihasilkan oleh Taufiq Ismail dan penyair yang lebih kemudian seperti D. Zawawi imron, Hamid Jabbar, Emha Ainun Nadjib dan lain-lain. Dalam tulisannya itu A. D. Pirous mengatakan sesuatu yang penting kepada kita: �Ketika awal tujuh-puluhan mulai tampilnya seni rupa kontemporer Indonesia yang bernafas Islam, kita sangat terkesan oleh hasrat yang besar dari para seniman untuk mengucapkan isi pesan semata yang Islami, tanpa terlalu banyak mempersoalkan bentuk-bentuk cisual ungkapannya atau bahasa rupa yang berangkat dari rumusan estetika Islam. Hal ini bisa dimengerti oleh karena belum ada pendidikan seni rupa dengan wawasan Islam.... Kita bertanya apa dan bagaimana kiranya, karya seni yang bernafaskan Islam itu�. Walaupun setelah Festival Istiqlal 1991 dan 1995 seni Islam telah mendapat sosoknya yang semakin jelas dan semakin nyata bahwa ia berkembang, namun tampaknya masyarakat cepat lupa sehingga timbul lagi pernyataan yang kadang-kadang naif. Hal ini disebabkan sekali lagi karena kurang tersosialisasikannya hasil karya seniman Muslim. Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi sosial keagamaan, pers, perguruan tinggi Islam sudah seyogyanya mengambil langkah strategis untuk memasyarakat karya seniman Muslim ini melalui berbagai kegiatan apresiasi dan bahkan memasukkannya menjadi bagian dari mata pelajaran sejarah kebudayaan atau sejarah kesenian Islam. Kajian dan penelitian mesti dilakukan, perkembangan seni Islam dan wawasan estetiknya mesti ditulis dalam buku sehingga dapat dijadikan rujukan masyarakat terpelajar Muslim. Namun sampai saat ini saya belum pernah menyaksikan sebuah lembaga pendidikan Islam atau perguruah tinggi Islam membuka fakultas ilmu-ilmu kebudayaan dengan tekanan pada kebudayaan Islam dan sejarahnya, di mana seni Islam, filsafat Islam dan kesusastraan Islam dikaji dengan layak dan penuh penghargaan. Catatan: i) Nuruddin al-Raniri memperingatkan bahayanya seorang Muslim membaca hikayat-hikayat warisan zaman Hindu seperti Hikayat Seri Rama dan Hikayat Pandawa. Namun para pengarang Melayu berpendapat bahwa membaca hikayat-hikayat di atas tidak berbahaya, karena hikayat-hikayat tersebut bagaimanapun juga mengandung unsur pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya hikayat-hikayat warisan zaman Hindu itu disadur kembali, diberi nafas Islam. Misalnya norma-norma dan perilaku tokoh-tokohnya didekatkan dengan norma-norma Islam. Masalah lain yang menjadi bahan perdebatan ialah penggunaan syair atau puisi sebagai media ajaran agama. Para ulama melihat syair hanya digunakan untuk penulisan roman (kisah percintaan), sindiran dan olok-olok, serta untuk mengekspresikan hal-hal yang tidak pantas dilihat dari sudut pandang agama. Tetapi para sastrawan berpendapat bahwa roman-roman percintaan dan cerita pelipur lara yang lain dapat ditulis dengan menyertakan unsur-unsur dakwah dan pendidikan. Puisi juga tidak selamanya dipakai untuk mengemukakan hal-hal negatif. Puisi-puisi keagamaan dan tasawuf, syair-syair sejarah dan falsafah sangat bermanfaat bagi pembaca. Jadi tidak selamanya sastra harus dipandang dari kaca mata negatif, begitu pula halnya dengan seni secara keseluruhan. Masalah ketiga yang diperdebatkan ialah penggunaan ungkapan-ungkapan simbolik dan imaginatif dalam puisi yang sering menyesatkan pembaca. Misalnya penggunaan simbol �laut� dan �ombak� dalam syair Sufi untuk membandingkan ketakterhinggaan wujud Tuhan (laut) dan keterbatasan dan kesementaraan wujud makhluq (ombak). Para ulama menafsirkan secara harafiah, seakan-akan penyair menyamakan laut dengan Tuhan dan memuja alam. Perdebatan serupa terjadi pada tahun 1938 ketika Hamka menerbitkan roman-romannya seperti Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka�bah. Karena di dalam roman itu terdapat kisah percintaan, para ulama kolot menuduh Hamka sebagai Kiyai Cabul. Hamka dan kawan-kawannya mempertahankan pendiriannya bahwa sastra penting sebagai media ekspresi dan meningkatkan penghayatan keagamaan. Dia berbicara atas nama kaum muda, golongan pembaharu, yang menghendaki pembaharuan. Jika kita jujur sebenarnya perbedaan pandangan tentang seni itu timbul karena metodologi, pendekatan dan cara pandang berbeda tentang seni. ii) Sebetulnya pada zaman Islam banyak seniman Muslim menciptakan motif-motif baru seni hias, Misalnya sebagaimana tampak pada motif seni batik Madura, motif burung pingai (simurgh). Perlu dikemukakan bahwa sebelum orang Islam datang ke Indonesia, mereka telah mengenal berbagai ragam hias Arabesk yang kaya melalui kain, perabot rumah tangga, bagian-bagian kapal yang dihiasi dan lain-lain. Pengkayaan motif yang bersifat lokal juga didorong oleh wawasan bahwa �Ayat-ayat Tuhan terbentang dalam alam dan diri manusia�, jadi tidak terbatas alam yang ada di negeri Arab atau Persia, dan tak terbatas diri manusia orang Arab dan Persia. Ingatlah Hamzah Fansuri berkata: Hamzah Fansuri orang �uryani Seperti Ismail jadi qurbani Bukannya �Arabi lagi Ajami Sentiasa wasil dengan Yang Baqi


Istilah ’fenomenologi’ sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek yang ditemui (Lexy J Moleong, 2007). Fenomenologi diartikan sebagai: 1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang (Husserl dalam Moleong, 2007). Menurut Moleong, peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti.
Hal ini berangkat dari arti asal kata fenomenologis yaitu ’fenomena’ atau gejala alamiah. Jadi para fenomenolog berusaha memahami fenomena-fenomena yang melingkupi subyek yang diamatinya. Sehingga yang ditekankan adalah aspek subyektif dari perilaku orang. Para fenomenolog berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.
Jadi yang ditekankan dalam fenomenologi adalah pemahaman terhadap pengalaman subyektif atas peristiwa dan kaitan-kaitannya yang melingkupi subyek. Contoh: penelitian mengenai fenomena komunikasi yang berkaitan dengan tingkat kepercayaan penerima pesan terhadap pesan yang disampaikan. Peneliti berusaha memahami bagaimana penerima pesan merespon setiap pesan yang disampaikan. Dari hasil pengamatan, peneliti menemukan fakta bahwa penerima pesan memiliki pengalaman negatif (buruk) terhadap pesan-pesan yang (ternyata) tak dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga hal tersebut mempengaruhi pula pandangan mereka terhadap kredibilitas pemberi pesan (komunikator). Terhadap pemberi pesan yang memiliki kredibilitas rendah tersebut, setiap pesan yang disampaikan selalu direspon secara negatif (tak dipercaya). Sebaliknya, pesan-pesan yang menyertakan pembuktian langsung dan nyata, membuat penerima pesan segera merasakan kebenaran pesan tersebut sehingga kepercayaan pun dapat muncul seketika. Dari fenomena tersebut, peneliti memunculkan teori atau model Komunikasi Berasa, yakni model komunikasi dengan pembuktian langsung dan nyata sehingga setiap pesan yang disampaikan langsung dirasakan kebenarannya oleh penerima pesan.
Contoh lain penelitian fenomenologi adalah penelitian biografis tentang grup musik Slank, untuk memahami pengalaman kreatif kesenimanan mereka dan bagaimana mereka memandang peristiwa-peristiwa negatif (terlibat narkoba, seks bebas, dan lain-lain) yang menimpa mereka maupun seniman-seniman lain, serta bagaimana mereka mengatasinya.
Jika fenomenologi fokus pada pemahaman terhadap pengalaman subyektif atas suatu peristiwa, maka interaksi simbolik fokus pada penafsiran terhadap pemaknaan subyektif yang muncul dari hasil interaksi dengan orang lain atau lingkungannya.
Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’ yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal menjadi perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus yang hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para interaksionis simbolik. Jadi peneliti berusaha ’memasuki’ proses pemaknaan dan pendefinisian subyek melalui metode observasi partisipan.
Hal yang tidak kalah penting dalam interaksi simbolik adalah pengonsepsian diri subyek. Bagaimana subyek melihat, memaknai dan mendefinisikan dirinya berdasarkan definisi dan makna yang diberikan orang lain.
Contoh: dalam penelitian mengenai Iklan dan Prostitusi. Subyek menggunakan ’iklan panti pijat’ sebagai media (simbol) penawaran jasa prostitutifnya. Subyek yang lain memanfaatkan ’tampil di cover majalah pria’ sebagai media lain penawaran atau komunikasi pemasaran jasa prostitutifnya. Subyek yang lain lagi ’menjual diri’ dengan tampil di situs jejaring sosial Friendster dengan foto-foto yang ’mengundang’ sebagai media komunikasi pemasaran atau iklan jasa prostitutifnya. Bagaimana subyek membentuk simbol-simbol pengiklanan diri tersebut, bagaimana pelanggan dapat menangkap makna simbol-simbol tersebut sehingga terjadi interaksi dan transaksi ’gelap’ dengan menggunakan simbol-simbol eksklusif lain, bagaimana subyek memandang dan mendefinisikan diri mereka berdasarkan pandangan orang lain, apakah mereka lebih senang disebut pelacur, pelacur kelas atas, escort, pemijat plus, model plus, atau sekadar ’teman jalan’? Adakah istilah-istilah dan bahasa-bahasa isyarat tertentu yang mereka gunakan? Bagaimana dengan keluarga dan teman-teman mereka di luar lingkungan prostitutif mereka? Apakah mereka menyembunyikan profesi mereka atau terbuka? Berapa banyak pelanggan dan penghasilan mereka dari hasil beriklan? Adakah pengaruh iklan terhadap kenaikan penghasilan mereka? Digunakan untuk apa saja penghasilan mereka? Lebih banyak untuk membantu perekonomian diri dan keluarga, atau lebih banyak untuk bersenang-senang?
Jadi, perbedaan mendasar antara fenomenologi dan interaksi simbolik muncul dari makna katanya sendiri: fenomena dan interaksi. Fenomenologi bertumpu pada pemahaman terhadap pengalaman subyektif atas gejala alamiah (fenomena) atau peristiwa dan kaitan-kaitannya, sedangkan interaksi simbolik bertumpu pada penafsiran atas pemaknaan subyektif (simbolik) yang muncul dari hasil interaksi. Pada fenomenologi, ibarat fotografer, peneliti ’merekam’ dunia (pengalaman, pemikiran, dan perasaan subyektif) si subyek dan mencoba memahami atau menyelaminya, sedangkan pada interaksi simbolik, peneliti menafsirkan makna-makna simbolik yang muncul dari hasil interaksi subyek dengan lingkungannya dengan cara memasuki dunianya dan menelusuri proses pemaknaan tersebut.