Membaca Seni Rupa Kontemporer Surabaya


DALAM usia relatif pendek (1967-1975), Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera) telah mewariskan tradisi berseni rupa yang kukuh. Kinerja seorang seniman diyakini sebagai "pejuang" nilai-nilai seni yang universal dan berkepribadian.

Oleh karena itu, seorang seniman harus total dan berwatak dalam mengusung ideologi keseniannya. Ajaran Aksera yang demikian sebenarnya rentetan dari kuatnya dominasi modernisme yang percaya pada universalisme.

Fenomena tersebut sangat mewarnai citra dunia seni rupa tahun 1970-an dan 1980-an. Bukan hanya di Surabaya sebenarnya, tetapi citra semacam itu melekat cukup kuat di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta yang selama ini dianggap sebagai mercusuar seni rupa modern Indonesia. Dan, kemodernan selalu dipahami melalui frame of reference Barat.

Akibatnya sampai saat ini tata pemahaman kita pada seni rupa modern maupun kontemporer selalu terasa tumpang tindih. Berbagai paradigma, teori yang berbau Barat dipaksakan untuk memahami persoalan-persoalan yang berlangsung di luar Barat.

DI kalangan kita sendiri masih sibuk mengutak-atik batas-batas modern dan kontemporer, mencoba mereka-reka definisinya, mencoba mengait-ngaitkan dengan teori Barat, dan akhirnya kita semakin tidak memahaminya. Pertanyaan semacam, "Adakah seni rupa kontemporer? Dan seni rupa macam apakah itu?" Selalu saja menjadi persoalan besar.

Dalam konteks pemikiran tersebut, beranikah kita mengatakan bahwa Surabaya memiliki seni rupa kontemporer? Kalau ada, bagaimana gejala itu muncul dan berproses? Dan kalau ia tidak ada, kita harus segera merevisi pemahaman kita yang salah kaprah pada sejarah seni rupa.

Sementara itu, keberadaan dan proses berlangsungnya seni rupa kontemporer di Surabaya, bersamaan dengan semakin kuatnya embusan wacana seni rupa kontemporer di berbagai wilayah, terutama di Bandung dan Yogyakarta.

Dalam proses itu, sikap berkesenian ala Aksera mulai direinterpretasi oleh generasi yang mulai muncul pada tahun 1990-an. Generasi baru ini merefleksikan ide-ide yang bernada menggugat pada kekukuhan dominasi suatu generasi dan ideologi seni yang diusungnya.

Kecenderungan itu sampai hari ini berwujud misalnya melalui aksi-aksi sekelompok perupa tertentu, seperti Hary Prayitno, Agus Koecing, Syaiful Hajar, Suharman, E Y Fibriandrianto, Agung Tato, Ars Dewo, dan sejumlah perupa muda lulusan SMSR Surabaya.

KELOMPOK perupa muda, sebagian besar lulusan perguruan tinggi seni rupa, menawarkan ide-ide baru yang lebih progresif dan menawarkan alternatif yang dianggapnya baru. Mereka meyakini, bahwa berkesenian itu haruslah berangkat dari konteks persoalan yang sedang menggejala di tengah masyarakat.

Seni kata mereka harus merefleksikan keresahan sosial yang diderita masyarakat. Seni menurut keyakinan mereka dapat berfungsi untuk menyuarakan kompleksitas persoalan sosial.

Dengan itu, karya kelompok seni rupawan ini mengetengahkan konsep estetika kontekstual. Mereka mempertanyakan fungsi seni dalam kaitannya dengan persoalan hidup masyarakat pendukungnya.

Sebagai aksi yang berusaha menentang dominasi, apa yang mereka tawarkan itu patut diapresiasi dalam konteks perkembangan seni rupa kontemporer di Surabaya.

SEMENTARA itu, seni rupa kontemporer memiliki watak paradigma yang membongkar dan menggugat. Watak ini sering terlampau menonjol, sehingga watak kesenirupaannya menjadi pudar.

Yang menonjol justru watak provokasinya. Unsur-unsur semacam metafor, simbol, bahasa rupa, keunikan bentuk, dan ungkapan estetik menjadi terlewatkan. Perupa menjadi terlalu asyik menggarap sesuatu yang sebenarnya tidak menunjukkan kompleksitas garapan sebagai karya seni rupa.

Seni rupa kontemporer sebenarnya bentuk seni yang demokratis. Seni ini berusaha membombardir tradisi high art, yang didewa-dewakan seni rupa modern. Tradisi ini hanya mengakui seni lukis, seni patung, dan seni grafis sebagai seni tinggi.

Oleh karena itu, seni semacam keramik, ukiran, batik, sungging wayang, seni topeng, digolongkan seni sudra, maka harus dimarginalkan. Seni tersebut dengan semena-mena dikelompokkan pada ketukangan belaka, karena itu ia tidak berkadar art.

Dalam latar belakang demikian, maka seni rupa kontemporer lebih melihat persoalan seni rupa bukan pada persoalan dikotomi antara seni tinggi dan seni rendah, tetapi lebih cenderung melihat pada konteks visual art (berbeda dengan fine art).

Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Ia masih dibebani oleh sejumlah persoalan yang menyangkut mediasi, kesiapan masyarakat apresiannya, wacananya, art critic-nya, konteks ruang dan waktu keberadaannya. Dan dalam konteks persoalan terakhir inilah, seni rupa kontemporer Surabaya harus diuji keberadaan dan proses aktualisasinya.

DJULI DJATIPRAMBUDI Pengamat dan pengajar Seni Rupa Unesa

Perkembangan Seni Rupa Di Jawa Timur “Posisi Seni Rupa Indonesia Di Tengah Perkembangan Seni Rupa Dunia”

Seorang Penyair, Pelukis, Pemain Teater, Perupa yang lahir di kampung Kaliasin, 30 Agustus 1959. Beliau juga Penggagas KSRB (Kelompok Seni Rupa Bermain) 1994 - sekarang, Peserta FSS tahun 1996 dan tahun 2000, di tahun 1998 beliau menjadi Peserta Art Ridge Festival di Perth Australia. Menggelar Seni Rupa Teror “Antara Sepatu Beliau dan Mahasiswa”, Menggelar Seni Rupa Instalasi “Republik Indonesia Baru”, Menggelar Seni Rupa Teror “Interogasi Gelap” pada tahun 1989 di Surabaya. Tahun 1999 Menggelar Seni Rupa Teror “Tanah Rencong” di Gresik. Pameran Lukisan Hitam-Putih “Kabinet Mega Omplong” pada tahun 2001. Peserta Pra Binnale di Surabaya tahun 2005. Peserta Binnale Yogya tahun 2005. Peserta Binnale Surabaya tahun 2005. Menggelar Performance Art Danau Siringan di Sidoarjo 21 Juni 2007. Perjalanan karyanya sepanjang 2004 - 2005 diulas di Archipel 2006 (Majalah Interdisipliner Perancis edisi tahun 2006). Dan telah melakukan sekitar 25 kali pameran dan pementasan yang dianggapnya sebagai gerakan kebudayaan.

Seni Rupa di Indonesia sedang dihadapkan pada pergulatan dan tarikan kepentingan kapitalisme. Hal ini didasarkan pada makin maraknya efek event yang membangun domain dalam mainstream masyarakat seni Indonesia. Bahwa event besar selalu bergengsi, sehingga siapapun (para pelaku seni khususnya perupa) tergiur untuk serta didalamnya. Pertimbangan tentang visi dan misi event yang semakin lama semakin bersebrangan dengan misi dan visi kehadiran kesenian (fine-art) di masyarakat. Bahwa kesenian harusnya melahirkan bentuk dari keusilan-keusilan dan kegelisahan-kegelisahan atas persoalan-persoalan hidup. Bukan kesenian yang dibentuk oleh kepentingan (penyelenggara event).

Giuran dari penyelewengan visi dan misi demi komoditas peruntungan akhirnya menjebak masyarakat perupa pada pola organisasi pemasaran karya seni yang ujung-ujungnya ada pada elera pemodal event. Dari alasan inilah muncul event yan berdagang. Antara art dealer, kurator & seniman. Padahal pada nyatanya di Indonesia seniman selalu muncul sebagai pihak yang merugi.

Perupa sering kali hanya mendapat porsi yang kecil dari hasil karyanya, dengan alasan bahwa butuh banyak untuk melakukan event pameran untuk biaya honorarium kurator, penjaga galeri, dan katalog luxury. Apalagi munculnya katalog yang lux sering dipakai alasan sebagai penghargaan atas inspirasi & ide karya sang kreator (bukankah sebuah alasan yang konyol sebenarnya ?). Bila disimpulkan terjadi peristiwa pergerakan atas pengarsipan dokumen oleh Kapitalis yang sama dengan transfer modal.

Pengadaan event tersebut termasuk pada usaha permainan menghindari pajak kekayaan. Hal inilah yang menjadikan Indonesia sampai saat ini belum memiliki museum seni rupa seperti halnya di Cina. Mengapa Cina sebagai contoh, dikarenakan Cina menghargai seni rupa yang memiliki nilai jual tinggi. Negara Cina benar-benar membiayai kegiatan seni secara serius, maka bisa menjadikan karya yang dilahirkan sebagai bagian dari investasi negara, kekayaan yang dilindungi.

Mainstream masyarakat pun dipola untuk menangkap perihal munculnya event sebagai kegiatan melarut. Bukan sebagai pengendali peristiwa. Artinya, masyarakat kreator semakin banyak yang termakan untuk mengisi fungsi berkeseniannya ebagai fungsi pengejar event semata. Tidak murni sebagai masyarakat yang gelisah atas persoalan hidup.

Sementara dalam seni rupa sendiri semestinya yang terpenting adalah mencampurkan media apa saja yang bisa digunakan untuk diolah sebagai instalasi untuk menyampaikan sesuatu. Fungsi penting lainnya dari seni rupa adalah bagaimana menangkap setiap elemen yang terjadi di masyarakat dan mengolahnya menjadi bentuk yang bisa bermakna banyak. Yaitu membuka kembali kasus, mempertanyakan kasus, atau bahkan menawarkan solusi atas kasus.

Lebih baik lagi bila kelahiran karya sebagai proses kegelisahan dengan intensitas yang tinggi maupun yang memiliki keberpengaruhan terhadap sense of researching (rasa ingin meneliti). Sehingga karya tersebut menjadi karya interdisipliner yang bisa menjadi follow up bagi siapa saja. Event hayalah sebagai efek samping, bukan target utama. Sehingga bisa diharapkan bahwa sebuah karya sesuau yang mampu membuka memori, wawasan penikmat yang sangat kompleks. Inilah kemudian yang menjadikan karya tersebut bisa dipertanggung-jawabkan. Bukan sekedar diperdagangkan.

Maka bila dipertanyakan konsep pebentukan KSRB (Kelompok Seni Rupa Bermain) dimana pemateri berkiprah adalah benar-benar konsep bermain-main. Menjadi seakan-akan. Yang akhirnya berkembang membentuk diri sebagai Laboratorium Kebudayaan, Pendidikan Alternatif, dan Gerakan Kebudayaan. sebagai Laborat Kebudayaan, melakukan fungsi sebagi dengan pendidikan kewarga-negaraan, bermain-main sebagai pemilik sistem kekuasaan, sehingga bisa mejalankan diri yang berfungsi sebagai atasan para eksekutif.

Sebagai Pendidikan Alternatif, KSRB memberi pemahaman terhadap anak-anak tentang masalah sosial dengan tidak membebani pikiran anak. Dengan menggambar pasar misalnya, anak diminta untuk menggambarkan apa saja yang ada di pasar sesuai dengan pengamatan mereka. Inilah porses pemahaman terhadap anak tentang bermasyarakat, dan berlingkungan.

Sebagai fungsi gerakan Kebudayaan, adalahpada bagaimana menuju pada pola menciptakan masyarakat yang dialogis terhadap persoalan. Maka pada intinya, setiap yang tergabung di KSRB mempunyai hak untuk mengeksplorasi persoalan yang diangkat sebagai bentuk laboratorium intelektual.

Sebagai kesimpulan atas Diskusi TEBU - 5 ini adalah : Perlunya kreator cermat terhadap latar belakang perkembangan sistem dunia sebagai acuan untuk menentukan posisi dan kedudukan yang setara, di tengah-tengah. Perlunya intensitas yang tinggi dalam prosees kelahiran karya terhadap persoalan yang diangkat seimbang dengan proses pencarian yang kritis sebagai bentuk pembuktian eksisstensi dan pertanggung-jawaban. Sehingga muncul gerakan kebudayaan sebagai efek proses kerja yang harus dijalankan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post your coment!