Media
Di samping itu ada harian yang sangat besar dan kuat ditahun 1970-an di Jawa Timur yaitu harian Surabaya Post. Harian Surabaya Post yang berpusat di
Ditahun 1970-an muncul juga harian Bhirawa. Bhirawa sebenarnya merupakan koran milik koalisi antara birokrasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan TNI AD, utamanya unsur KODAM V Brawijaya, juga menjadi instrumen penting berkembangnya kesenian modern di Jawa Timur, ketika redaktur keseniannya dipegang Dr Suripan Sadi Hutama. Suripan Sadi Hutama adalah dosen sastra senior di IKIP
Ditahun 1980-an juga muncul koran Suara
Ditahun 1970-an dan akhir Tahun 1960-an juga banyak terbit buletin, tabloid kesenian, jurnal, dan buku seni terbit di
Berbagai literatur, buku-buku kesenian, dari
Ditahun 1960-1970an media elektronika yang berperan terhadap perkembangan seni modern di Jawa Timur adalah radio, utamanya RRI Surabaya (Radio Republik
Ditahun 1970-an, ketika radio swasta berkembang pesat di Jawa Timur, utamanya di
Berbagai model kesenian modern juga dimasukkan dalam program radio Susana. Mulai pembacaan puisi, sandiwara radio, acara bahasa Suroboyoan, dagelan, musik, sampai dengan teater dijadikan program penting radio ini. Tokoh penyiar populer muncul dari radio ini adalah Kaisar dan Ria Enes. Tatkala TVRI Jawa Timur berkembang ditahun 1970-an maka banyak tokoh teater bergabung dalam media elektronika ini. Bawong SN, Yudo Herbeno, Ria Enes, dan sebagainya bergabung dengan TVRI Jawa Timur dan kemudian mengembangkan program kesenian modern dan tradisional dengan baik. Banyak sekali lakon teater modern dimainkan di TVRI ini, antara lain Lingkaran Kapur Putih yang disutradarai Basuki Rachmad dari Bengkel Muda Surabaya pernah dimainkan di sini juga.(*)
Dualisme Kesenian dan Asimilasi Kesenian
Ditulis pada Oktober 3, 2007 oleh brangwetan
Peta perkembangan kesenian Jawa Timur dari dulu hingga saat ini menuju pola yang menarik yaitu di satu sisi muncul pola dualisme antara kesenian tradisional atau kesenian rakyat dan kesenian modern. Di sisi lain ada pula pola kesenian modern yang mengambil dasar kesenian rakyat atau tradisional. Dualisme dalam konsep ini seperti yang ditulis oleh Boeke yaitu dua jenis kesenian yang berkembang secara sendiri-sendiri, tidak saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga tidak pernah bertemu. Dua jenis kesenian ini seperti sepasang rel kereta api, selalu sejajar, tetapi tidak pernah bertemu dalam satu titik.
Dualisme kesenian rakyat dan modern berarti kesenian rakyat (tradisional) dan modern berkembang secara sendiri-sendiri, tidak saling mempengaruhi, tidak pernah bertemu dalam satu titik tertentu, tetapi selalu sejajar dari hulu sampai dengan hilir. Dualisme kesenian Jawa Timur antara kesenian rakyat (tradisional) dan modern sejak awal eksistensinya hingga arah perkembangan berada dalam paradigma yang berbeda. Baik kesenian rakyat (tradisional) dan modern hidup dan berkembang di atas formasi sosial yang berbeda. Kesenian rakyat atau kesenian tradisional Jawa Timur sejak dulu berkembang di atas formasi sosial agraris tradisional. Formasi sosial masyarakat Jawa Timur sangat menentukan pola dan arah perkembangan kesenian rakyat (tradisional) Jawa Timur seperti formasi sosial masyarakat Pendalungan, Mataraman, Arek, dan Osing.
Formasi sosial agraris tardisional Mataraman, Pandalungan, Arek, dan Osing itu menentukan lingkup, arah perkembangan, estetika, artistik, dan pola distribusi kesenian rakyat (tradisional) Jawa Timur.
Kesenian rakyat (tradisional) pada umumnya diproduksi secara kolektif oleh komunitas daerah itu, meskipun para anggotanya bisa dari asal yang heterogen (dari berbagai orang dengan asal daerah bermacam-macam). Banyak cerita kesenian rakyat (tradisional) itu berasal dari mitos, cerita agama, kisah nabi, kisah wali, kerajaan atau aristokrasi, legende tentang sungai, daerah, dan nilai pitutur bagi generasi kemudian. Karena itu kesenian rakyat (tradisional) itu sering dinilai bersifat kolektif dan karyanya anonim, meskipun saat ini mulai banyak ”sentuhan” karya individual dalam karya seni rakyat (tradisional) itu.
Salah satu ciri khas lain dari kesenian rakyat (tradisional) adalah mempertahankan ”tradisi”atau kebiasaan artistik yang sudah ada. Artinya kesenian rakyat (tradisional) selalu menjaga ciri kesenian rakyat (tradisional) yang ada, dari mulai dibuat, baik mengenai pola artistik, cerita, bentuk penampilan, hingga esensi cerita yang hendak disampaikan. Dalam konteks ini sebenarnya kesenian rakyat (tradisional) adalah pelestari dan penjaga tradisi artistik dan spiritual masyarakat daerah tersebut.
Sangat masuk akal kalau Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berusaha menjaga tradisi masyarakat dengan cara mensuplai dana besar sekali dari APBD dan APBN.
Distribusi dana besar dari negara kepada kesenian rakyat (tradisional) di samping untuk melestarikan nilai nilai tradisi (dianggap luhur) juga untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya indigeneous (BI) dalam masyarakat Jawa Timur.
Sementara itu kesenian modern tumbuh dalam formasi sosial perkotaan dan status sosial yang heterogen.
Seniman modern berasal dari formasi sosial heterogen, individual, dan sedikit banyak dihinggapi ”penyakit” Malin Kundang. Karena itu bahasa kesenian para seniman modern itu sangat heterogen, kadang terasa individual, tetapi yang jelas berada dalam format inovasi, pembaharuan, dan minimal kreativitas. Ini artinya kesenian modern merupakan gejala individual, inovasi, dan bukan pelestari tradisi sistem tradisional. Bahkan kesenian modern sedikit banyak hasil dari tradisi intelektual yang kuat (yaitu skeptis) dan seringkali memberontak atau melawan atau membongkar tradisi masyarakat. Posisi seniman modern dan kesenian modern yang dihinggapi ”penyakit” Malin Kundang, menolak tradisi, pembaharuan, dan berdiri di atas eksperimentasi itu yang menyebabkan negara kurang intensif memberi bantuan atau dorongan (suplai) dana besar seperti kesenian rakyat (tradisional). Kesenian modern bukanlah penjaga dan pewaris tradisi, tetapi mewacanakan tradisi dan berbagai nilai kehidupan dalam pandangan skeptis, kreatif, dan inovatif.
Tradisi kesenian modern adalah perubahan dan perspektif universal. Ini artinya kesenian modern mempunyai akar tradisi fenomena dinamis kemanusiaan dan tradisi dialektika intelektual dunia. Dengan demikian kesenian modern secara teoritis dan metodologi mempunyai sejarah internasional dan universal, meskipun sering secara faktual berkembang adopsi dan sinkretis dengan tradisi lokal. Kesenian modern dimainkan, dipamerkan, dan dimuat untuk kepentingan apresiasi seni dan komersial. Teater modern dimainkan sebagian besar untuk alasan apresiasi dan sangat sedikit untuk kepentingan komersial. Begitu pula sajak, cerpen, novel, dan roman dimuat di media
Secara makro kesenian modern dan para senimannya berada dalam jaringan formasi sosial global nasional maupun internasional, tetapi kesenian rakyat (tradisional) berada dalam formasi sosial agraris tradisonal (lokal atau indigeneous). Dua paradigma kesenian, rakyat (tradisional) dan modern, ini menyebabkan timbulnya dualisme perkembangan kesenian di Jawa Timur. Kesenian modern berkembang dalam paradigma, komunitas, dan pola produksi yang berbeda dengan kesenian rakyat (tradisional). Dalam banyak hal 2 paradigma ini sulit bisa bertemu dalam proses perkembangannya. Mereka mempunyai sejarah masing masing dan tidak banyak adanya unsur saling mendukung. Kalau ada saling membantu atau mendukung biasanya temporer sekali. Untuk menjadi paradigma ke-3 nampaknya sulit sekali.
Dualisme perkembangan kesenian rakyat (tradisional) dan modern ini tidak berarti tidak ada kesenian modern mendapat inspirasi atau dasar nilai dan penciptaan dari kesenian rakyat (tradisional). Banyak kesenian modern mendasarkan dirinya dari nilai sosial masyarakat dan kesenian tradisional (rakyat). Sajak sajak W.S Rendra, untuk contoh nasional, mendapat inspirasi dari pantun, meskipun banyak pengamat sastra menilai juga banyak dipengaruhi oleh sajak sajak Gracia Lorca. Karya instalasi Mulyono banyak dipengaruhi oleh kesenian rakyat Tulungagung. Begitu pula wayang kulit kontemporer Harman, dosen Unesa Surabaya, banyak mengambil dasar patron wayang kulit klasik, tetapi karya-karya modern dan kontemporer itu mempunyai proses perkembangan dan produksi yang berbeda dengan karya asli kesenian rakyat (tradisional).
Fenomena dualisme kesenian rakyat (tradisional) dan modern ini diperkuat oleh sikap birokrasi kesenian Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan semua birokrasi kesenian Pemerintah
Data formal kesenian di kabupaten/kota menimbulkan 2 penafsiran, pertama data kesenian itu dilakukan asal catat sesuai dengan kemampuan dan kepentingan mereka di daerah sehingga sangat dimungkinkan sebagian besar data itu kurang representatif. Yang dicatat adalah jenis kesenian yang dikenal mereka saja atau menguntungkan kepentingan mereka saja. Atau penafsiran kedua, data kesenian di daerah itu dicatat dengan antusiasme berlebihan. Mereka mencatat apa saja kesenian yang dikenal pemerintah daerah. Akibatnya banyak jenis kesenian itu yang sebenarnya sudah bubar.
III. KESIMPULAN
Kesenian rakyat (tradisional) pada umumnya diproduksi secara kolektif oleh komunitas daerah itu, meskipun para anggotanya bisa dari asal yang heterogen (dari berbagai orang dengan asal daerah bermacam-macam). Banyak cerita kesenian rakyat (tradisional) itu berasal dari mitos, cerita agama, kisah nabi, kisah wali, kerajaan atau aristokrasi, legende tentang sungai, daerah, dan nilai pitutur bagi generasi kemudian. Karena itu kesenian rakyat (tradisional) itu sering dinilai bersifat kolektif dan karyanya anonim, meskipun saat ini mulai banyak ”sentuhan” karya individual dalam karya seni rakyat (tradisional) itu.
Salah satu ciri khas lain dari kesenian rakyat (tradisional) adalah mempertahankan ”tradisi”atau kebiasaan artistik yang sudah ada. Artinya kesenian rakyat (tradisional) selalu menjaga ciri kesenian rakyat (tradisional) yang ada, dari mulai dibuat, baik mengenai pola artistik, cerita, bentuk penampilan, hingga esensi cerita yang hendak disampaikan. Dalam konteks ini sebenarnya kesenian rakyat (tradisional) adalah pelestari dan penjaga tradisi artistik dan spiritual masyarakat daerah tersebut.
Seniman modern berasal dari formasi sosial heterogen, individual, dan sedikit banyak dihinggapi ”penyakit” Malin Kundang. Karena itu bahasa kesenian para seniman modern itu sangat heterogen, kadang terasa individual, tetapi yang jelas berada dalam format inovasi, pembaharuan, dan minimal kreativitas. Ini artinya kesenian modern merupakan gejala individual, inovasi, dan bukan pelestari tradisi sistem tradisional. Bahkan kesenian modern sedikit banyak hasil dari tradisi intelektual yang kuat (yaitu skeptis) dan seringkali memberontak atau melawan atau membongkar tradisi masyarakat. Posisi seniman modern dan kesenian modern yang dihinggapi ”penyakit” Malin Kundang, menolak tradisi, pembaharuan, dan berdiri di atas eksperimentasi itu yang menyebabkan negara kurang intensif memberi bantuan atau dorongan (suplai) dana besar seperti kesenian rakyat (tradisional). Kesenian modern bukanlah penjaga dan pewaris tradisi, tetapi mewacanakan tradisi dan berbagai nilai kehidupan dalam pandangan skeptis, kreatif, dan inovatif.
Tradisi kesenian modern adalah perubahan dan perspektif universal. Ini artinya kesenian modern mempunyai akar tradisi fenomena dinamis kemanusiaan dan tradisi dialektika intelektual dunia. Dengan demikian kesenian modern secara teoritis dan metodologi mempunyai sejarah internasional dan universal, meskipun sering secara faktual berkembang adopsi dan sinkretis dengan tradisi lokal. Secara makro kesenian modern dan para senimannya berada dalam jaringan formasi sosial global nasional maupun internasional, tetapi kesenian rakyat (tradisional) berada dalam formasi sosial agraris tradisonal (lokal atau indigeneous). Dua paradigma kesenian, rakyat (tradisional) dan modern, ini menyebabkan timbulnya dualisme perkembangan kesenian di Jawa Timur.
Dualisme perkembangan kesenian rakyat (tradisional) dan modern ini tidak berarti tidak ada kesenian modern mendapat inspirasi atau dasar nilai dan penciptaan dari kesenian rakyat (tradisional). Banyak kesenian modern mendasarkan dirinya dari nilai sosial masyarakat dan kesenian tradisional (rakyat).
Seni rupa modern di Surabaya sering dikatakan tumbuh dan berkembang tanpa basis wacana. Padahal sejak awal abad ke-20 bersamaan dengan adanya kontak dengan budaya Barat (Eropa), di Surabaya telah muncul gejala pertumbuhan seni rupa modern sebagai keniscayaan mulai tumbuhnya budaya modern. Keberadaan
Penelitian ini dirancang untuk menelusuri wacana historis seni rupa modern di Surabaya. Desain penelitian didasarkan pada metode penelitian sejarah analitik dengan pendekatan sosiohistoris. Dengan metode dan pendekatan ini memungkinkan eksplanasi wacana historis seni rupa modern di Surabaya yang dilatarbelakangi variabel-variabel sosial berlapis-lapis. Penelitian ini pada hakekatnya bertujuan memahami, menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi kecenderungan wacana historic, seni rupa modern di Surabaya selama dekade ‘70 — ‘90-an. Penelitian ini juga didorong oleh kenyataan bahwa sampai sekarang belum ada kajian komprehensif, baik dalam bentuk tesis, desertasi atau buku, yang bertujuan membuat pemetaan perkembangan wacana historis seni rupa modern di Surabaya.
Dari data yang terkumpul, baik data tekstual maupun visual dapat dikemukakan beberapa hal sebagai temuan dari kajian ini. Pertama, generasi Aksera muncul bersamaan lahirnya Aksera. Generasi ini didominasi oleh cita dan citra berkesenian yang secara filosofis dan estetik mengacu pada modernisme yang universal dan Tinier. Namun, dalam konteks sosial generasi Aksera secara ideologis berorientasi pada wacana nasionalisme dengan pencarian identitas sebagai bahasa ekspresi individu yang khas dan unik. Kedua, generasi pasca Aksera muncul dalam latar sosial budaya kapitalisme dan posmodernisme. Pada latar kapitalisme muncul generasi ‘80-an yang diwarnai oleh euforia booming seni lukis yang menggejala sejak akhir dekade ‘80-an. Wacana pasar sangat dominan dalam era ini dengan ditandai kecenderungan berkarya yang market oriented, instant, artifisial. Pada latar posmodernisme dengan isu wacana seni rupa kontemporer muncul generasi ‘90-an. Kredo generasi ini menggejala kuat mulai 1994 dengan ditandai kemunculan kelompok seni rupa alternatif Kelompok ini memiliki kecenderungan kuat mengambil posisi sebagai perupa pemberontak. Mereka aktif mencari medium alternatif untuk merespons hadirnya isu seni rupa kontemporer yang berbasis pada pluralitas dan mengeksplorasi multi-media, serta media baru. Mereka mengangkat isu seni rupa sebagai gerakan kebudayaan untuk menumbuhkan kesadaran kolektif dalam konteks isu sosial, politik dan persoalan kemanusiaan.
Kelangsungan dan perubahan wacana historis dari generasi Aksera hingga generasi pasca Aksera membuktikan adanya basis wacana yang signifikan yang mendasari perkembangan seni rupa modern di Surabaya selama tiga dekade. Basis wacana itu bertolak dari wacana global yang berlangsung pada setiap kurun perkembangan. Basis wacana tersebut terbukti berpengaruh kuat pada praksis seni rupa dan kecenderungan estetik seni rupa modern di Surabaya. Seni rupa modern yang berkembang dalam entitas tertentu pada dasarnya menunjukkan historiografi yang khas, parsial, baik dalam konteks ruang dan waktu, serta kecenderungan estetiknya.
Di tengah konflik politik dan ideologi para pelukis di
1. Karyono (lukisannya realisme dan ekspresionisme)
2. Tedja Suminar (lukisannya realisme dan ekspresionisme)
3. Muhamad Daryono (lukisannya ekspresionisme, banyak mengusung tema kerakyatan)
4. Krishna Mustajab (lukisannya ekspresionisme, dekoratif-ekspresif)
5. OH Soepono (ekspresionisme dan surialisme)
6. Rudi Isbandi (lukisannya beragam: mulai dari ekspresionisme, kolase, media campuran, dan abstrak)
7. Amang Rahman (surealisme dan terkenal
8. M. Roeslan (realisme dan kaligrafi Jawa, banyak mengusung masalah kerakyatan dan realsime sosial ala Hendra Gunawan)
9. Rustamadji (realisme dan naturalisme)
10. Koempoel (realisme dan impresionisme)
11. Soechieb (realisme dan banyak mengusung tema perjuangan)
12. Wiwiek Hidayat (impresionisme dan abstrak, banyak menorehkan garis-garis dan warna-warna mencolok)
13. Sudibio (Tahun 1946 mendirikan kelompok Seniman Muda
14. Nurdin
Setelah rezim Soekarno runtuh ditahun 1966 banyak seniman Lekra yang ditahan, dibunuh, dan melarikan diri. Sedangkan seniman lain yang berafiliasi ke partai politik, seperti LKN dan Lesbumi, diakhir Tahun 1960-an mulai pasif. Akibatnya di Surabaya yang dominan adalah seniman non PKI dan non afiliasi ke partai politik.
Ditahun 1970-an mulai semarak perkembangan seni rupa di
Aksera sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan seniman dan kesenian
Generasi pelukis Tahun 1970-an sebenarnya sangat beragam, meskipun pengaruh AKSERA sangat besar sekali. Mereka berkembang secara otodidak, dari
Abraham (realisme dan surialisme), Agus Kemas (hijrah ke Sumenep), Akuat Pribadi (ekspresionisme), Arifin Hidayat (realisme, dekoratif, dan eskpresionisme. Ahli taman), Bambang Haryadjie (ekspresionisme dan dekoratif), Dwijo Sukatmo (abstrak dan kemudian impresionisme, banyak tema-tema filsafat kehidupan), Hardi (realis-ekspresionisme, hijrah ke
Di samping itu Aksera menyelenggarakan Sekolah Minggu Aksera (SMA). SMA ini melahirkan seniman seperti Wadjie MS dan Sukarno. Bengkel Muda Surabaya pun menyelenggarakan sekolah minggu seni lukis sehingga banyak seniman muda yang lahir dari aktivitas BMS ini. Tokoh yang lahir dari BMS adalah Bawong SN, Amir Kiah, dan Winarto
Ditahun 1980-an dunia seni rupa
1. A.Gusge (realis-surealis)
2. Abdul Kadir (impresionis)
3. Albert Rondonuwu (realis)
4. Amdo Brada (Bambang Widodo). Amdo adalah jebolan STSI ASRI Yogyakarta. Amdo terkenal dengan lukisan dekoratif etnik. Dia banyak melukis totem dan dekorasi daerah.
5. Amir Kiah (realis-ekspresionis)
6. Anang Timur (realis, surealis, dan dekoratif. Banyak mengusung tema candi)
7. Andi L. Hamsan (realis-dekoratif dan surealis)
8. Andi Sulasmono (realis)
9. Arifin Petruk (instalasi)
10. Asri Nugroho (realisme, surealisme, dan abstrak)
11. Bagas Karunia Putra (realis, ekspresionis, multi media, dan terakhir dadais)
12. Bambang Widiantoko (abstrak)
13. Basuki (realis)
14. Bilaningsih (ekspresionis dan dadais)
15. Chamdani (ekspresionis, banyak mengusung tema sosial)
16. Chusnul Bahri (pelukis kaligrafi dan dekoratif. Lukisannya style Madura).
17. Chusnul Hadi (realis, kaligrafi)
18. Doho Senjoyo (naturalis)
19. Doyo Prawito (realis, natural, dan terakhir surialis)
20. Dwi Hadiah (realis-dekoratif)
21. Farid Firdaus (impresionis, ekspresionis)
22. Hening Purnamawati (dekoratif dan surialisme). Hening merupakan pelukis perempuan
23. Her Rusmadi (realis, ekspresionis, dan banyak mengusung tema kerakyatan model Hendra Gunawan)
24. Heri Suyanto (realis, dekoratif, dan pointilis)
25. Hisyam (dekoratif)
26. Hookim Hong (realis dengan
27. I Nyoman Ladra (dekoratif)
28. Ika Ismurdiahwati (dekoratif dengan banyak tema lukisan topeng dan totem)
29. Imam Chambali (realis)
30. Iskandar Zubair (realis dan banyak melukis karikatur)
31. Ivan Hariyanto. Pelukis Surabaya bergaya surealis yang produktif. Ivan lulusan STSRI “ASRI” Jogyakarta.
32. J.S Warno (realis)
33. Juli Jatiprambudi (realis-ekspresionis, lebih terkenal sebagai kritikus dan penulis seni rupa)
34. K. Djuwito (realis)
35. Kris AW (pernah di
36. Liem Keng
37. Liwung (realis)
38. Lukman Azis (surealis, bermukim di Porong Sidoarjo, almarhum)
39. M. Basuki (realis)
40. M. Thoyib (dekoratif)
41. Mas Dibyo. Mas Dibyo merupakan salah seorang pelukis bergaya ekspresionis yang sangat produktif. Pada awal Tahun 1990-an dia pindah ke Tuban dan sangat produktif pameran.
42. Mudjiono (realis)
43. Muhamad Fauzi (surealis dekoratif)
44. Musfaat (realis dan naturalis)
45. Natalini (Lini) (ekspresionisme)
46. Nonot Sukrasmono (realis, surealis, dan abstrak, dan kaligrafi)
47. Nunung Bachtiar (realis, ekspresionis)
48. Okka Jauhari (abstrak)
49. Pandik (realis)
50. Pek Liang (realis dengan
51. Praci Hara (abstrak, lulus Unesa, banyak sibuk mengajar di SMKN XI – SMSR Surabaya)
52. Purnomo Sadewo (realis ekspresionis)
53. Rijaman (pointilis)
54. Rilantono (realis, dekoratif, dan pop art)
55. Salamun Kaulam, dosen UNESA, termasuk pelukis
56. Satya Budi (realis-surealis). Sekarang tinggal di
57. Sebastian (realis, banyak belajar dari Doyo Prawito)
58. Setyoko (ekspresionisme, fauvisme)
59. Sim Kiem (realis)
60. Siti Rijati (realis)
61. Sri Rahayu (realis)
62. Subanu (realis-dekoratif)
63. Sugiarso Widodo (lukisannya banyak tema mesin sebagai simbol budaya masyarakat saat ini)
64. Sukarno (realis, dekoratif)
65. Surachman KS (realis dekoratif)
66. Suratno (realis)
67. Sutjahyo Widodo (realis ekspresionis)
68. Syafei Prawirosedono (Cak Pii) (realis banyak tema wayang)
69. Syaiful Hadjar (realis, grafis, dan saat ini menekuni seni rupa instalasi)
70. Taufiq Sulistiya (realis)
71. Thoyib Tamsar (dekoratif, banyak bikin patung dari bahan serat rosella)
72. Tiko Hamzah (realis-surialis)
73. Utut Hartono Brotoasmoro (realis)
74. Wadji M.S (realis dekoratif)
75. Wijianto (realis)
76. Yuliascana (dekoratif)
Sedangkan generasi seni rupa Surabaya Tahun 1990-an sama beragamnya dengan generasi seni rupa Tahun 1980-an. Akan tetapi generasi seni rupa Surabaya Tahun 1990-an banyak mengusung tema sosial, politik, dan kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka adalah
1. Abdul Hakim (otodidak. kaligrafi)
2. Agus Kucing (pop art dan instalasi)
3. Agus Muharam (kaligrafi)
4. Ari Indriastuti (realis, lulusan Unesa)
5. Arsdewo (STSI=Sekolah Tinggi Seni
6. Asnan Hayadi (realis, otodidak, banyak melukis
7. Bambang Kuncung (nama aslinya Bambang Bagus Permadi. Mahasiswa STKW. Instalasi dan pop art)
8. Budi S (otodidak. natural)
9. Darsono (realis. Otodidak)
10. Dukan Wahyudi (lulusan SMSR. realis dekoratif, dengan mengusung banyak tema kritik sosial)
11. E.Y Fibri Andrianto (abstrak, STKW Surabaya)
12. Hari Subagio (realis ekspresionis, IKIP Semarang)
13. Indra Harianti (istri Supar Pakis. Realis.otodidak)
14. Joko Pramono (Jopram) (lulusan SMSR. pop art)
15. Jumartono (ekspresionis, lulusan SMSR)
16. Mas Rachmad (realis dan kemudian berkembang ke dekoratif. otodidak)
17. Mirza Said (dekoratif, Univ Trisakti)
18. Mukiban (otodidak.realis, impresif)
19. Nono Karyono (realis, otodidak)
20. Nono W.S (realis, banyak belajar di Perancis)
21. Novita Sechan (realis, lulusan Unesa)
22. Supar Pakis (lulusan Unipa=Universitas PGRI Adibuana. Gayanya realis-surealis)
23. Taufiq Hidayat
24. Yunus Jubair (surealis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Post your coment!